Berhasil menjadi seorang guru adalah sebuah anugerah dan kesuksesan bagi saya. Bukan melebih-lebihkan, karena saya terlahir dari keluarga yang sederhana. Orang tua saya adalah petani yang bahkan belum mempunyai lahan sendiri waktu itu. Jangankan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, untuk membiayai hingga lulus SMA sajapun orang tua saya mengalami kesulitan.
Sejak SMP hingga SMA saya sekolah dengan besiswa, karena nilai saya cukup bagus dan tentu karena saya miskin. Setelah lulus SMA saya sangat ingin kuliah. Saya menyusul kakak-kakak saya yang berada di Jakarta. Salah satu kakak saya memiliki usaha agen koran yang sedang berkembang.
Saya mendaftar kuliah di Universitas Sahid Jakarta jurusan pariwisata dan perhotelan. Waktu itu sudah gelombang ke lima. Saya lolos tes dan diterima sebagai mahasiswa Universitas Sahid. Namun, setelah itu barulah kami tahu bahwa kampus jurusan pariwisata dan perhotelan ternyata berada di Pondok Cabe, Tangerang bukan di Fatmawati yang seperti kami duga.
Selain sangat jauh dari tempat tinggal kami, sesungguhnya kami tidak yakin dengan apakah kami mampu membayar biaya kuliahnya. Akhirnya diputuskan saya tidak jadi kuliah. Saya menganggur satu tahun. Satu tahun berikutnya saya bekerja sebagai SPG (Sales Promotion Girl) di sebuah mall di Kelapa Gading.
Jalan hidup seseorang tidak ada yang pernah tahu. Tahun 2005 Tuhan buka pintu rahmat-Nya untuk keluarga kami. Kakak saya, Agus Misyadi, memenangkan kuis "Who wants to be a millionaire" sebesar 500 juta rupiah. Waktu itu berita itu sempat heboh. Seorang loper koran mampu memenangkan 500 juta rupiah di kuis yang dipandu oleh Tantowi Yahya tersebut.
Kakak saya rela hati tidak kuliah demi membiayai kuliah saya. Tahun itu juga saya mendaftar kuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Tahun 2009, tepat empat tahun saya lulus kuliah dan langsung diminta mengajar di salah satu sekolah swasta di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Setelah satu tahun, karena satu dan lain hal saya akhirya memutuskan untuk pindah ke salah satu sekolah swasta di Semarang.
Nah, demikian cerita singkat tentang perjalanan saya hingga bisa menjadi seorang guru. Semua teman-teman saya yang menjadi guru tak satupun yang memiliki latar belakang seperti saya. Tidak ada satupun yang lahir dari keluarga petani. Minimal mereka terlahir dari keluarga guru, pengusaha, dan lain sebagainya.
Sebagai guru pekerjaan saya cukuplah nyaman. Setiap hari memakai seragam rapi dan sepatu 'high heels'. Bekerja di ruangan ber-AC yang nyaman jauh dari sengatan sinar matahari. Bergaul dan melayani anak-anak dari kalangan menengah ke atas. Saya juga mendapatkan gaji yang cukup. Namun, semua hal itu tak lantas membuat saya lupa akan asal usul saya. Saya tak mau menjadi Malin Kundang.
Ketika musim liburan datang maka saya akan siap-siap bekerja keras. Di saat teman-teman yang lain mulai merencanakan liburannya ke kota lain atau bahkan ke luar negeri, maka saya siap-siap pulang ke kampung halaman saya. Di saat yang lain asyik menikmati wisata, saya bekerja keras mengambil rumput di ladang untuk pakan sapi.
Memanggul rumput gajah sejauh satu kilo dari ladang ke rumah. Terkadang juga saya masih menggembalakan kambing. Saya tidak malu. Saya tidak lupa pada pekerjaan saya sedari kecil. Di kota saya memang seorang guru tetapi di rumah saya tetaplah anaknya Bapak Ibu yang notabene adalah seorang petani.
Teman-teman saya mungkin punya semboyan "Work hard play hard", tetapi saya punya moto saya sendiri "Kerja dan kerja keras" dan saya bersyukur atas hal itu.Â