Mohon tunggu...
Veronica Yuliani
Veronica Yuliani Mohon Tunggu... Guru - Guru bahasa yang jatuh cinta dengan cello, panflute, dan violin.

Menulis untuk berbagi dan menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Aku Hendak Menjadi Dewa

9 Januari 2020   16:43 Diperbarui: 9 Januari 2020   17:09 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap orang punya masalah. Setiap orang punya kekhawatiran. Begitupun dengan saya. Saya terlahir dari keluarga yang sederhana, kalau tidak mau dikatakan miskin. Orang tua saya berprofesi sebagai petani. Hidup sebagai petani tidaklah mudah. Untuk mengolah sawah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, padahal hasil panen jika dihitung tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Sudah demikian, orang tua saya tidaklah selalu harmonis.

Sejak saya kecil saya sering melihat ayah saya marah. Ketika ayah mengamuk barang-barang di rumah bisa hancur. Saya hanya bisa menangis jika semua itu terjadi. Kini ketika saya menjadi dewasa, saya mulai berpikir penyebab ayah saya selalu marah dan mengamuk. Saya menduga ayah saya menjadi marah karena ia tidak punya uang untuk membiayai hidup sehari-hari, bersosialisasi, dan mengolah sawah. Ia sendiri tidak bisa mengusahakan apa-apa, anak-anak tidak ada yang bisa membantu. Ia frustasi dan akhirnya jadi mudah meledak amarahnya.

Merenungkan hal itu timbulah angan-angan saya, seandainya saya kaya, seandainya saya punya banyak uang. Tentu saya bisa mengirimi beliau uang, setidaknya satu juta tiap bulan untuk meringankan bebannya, mungkin ayah saya bisa menjadi ayah yang lembut dan tidak mudah marah lagi.

Saya terlahir lima bersaudara. Saya adalah anak terakhir. Kakak saya yang pertama beberapa tahun yang lalu terpaksa berhenti bekerja karena sakit. Depresi lebih tepatnya. Perkawinanya tidak dapat dipertahankan. Uang pesangon dan tabungan pada akhirnya habis untuk berobat. Melihatnya kini kurus dan harus bekerja keras setiap hari membantu ayah ibu bertani membuat saya trenyuh. Saya ingin melihatnya bahagia di sisa hidupnya.

Kakak laki-laki saya yang pertama sudah menikah dan sudah memiliki anak dua orang. Beberapa tahun yang lalu memilih berhenti bekerja karena ada pembaruan kontrak kerja. Rencana membuka usaha dari uang pesangon kandas karena tertipu. Menurut saya dia kurang perhitungan. Di usianya kini yang sudah menginjak 40 tahun lebih dan pendidikan hanya STM sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang baru. Kini ia hanya bekerja serabutan, padahal ia harus menghidupi isteri dan kedua anaknya. Memikirkan hal itu kembali saya berangan-angan seandainya saya kaya, seandainya saya punya banyk uang sehingga bisa memberinya modal untuk usaha. Saya tidak imgin kakak saya hidup menderita.

Kakak laki-laki saya satu lagi juga sudah satu tahun lebih tidak bekerja. Dulu dia adalah orang yang membiayai kuliah saya. Mungkin karena salah memanajemen keuangan sehingga ia sekarang tidak punya apa-apa. Kakak saya yang satu ini juga hanya lulusan STM. Di usianya kini yang sudah menginjak 38 tahun, sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Saya hanya bisa membantunya sedikit untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Itupun ia masih makan mie satu kali setiap hari. Saya sangat sedih. Seandainya saya kaya tentu ia tidak akan menderita seperti ini. Saya berusaha dan berdoa tetapi itu belum bisa menghilangkan kekhawatiran dan kesedihan saya. 

Di luar keluarga saya pun saya seringkali merasa iba dengan mereka yang menderita dan seringkali berangan-angan bagaimana seandainya saya kaya lalu bisa membantu mereka yang kesusahan. Merenungkan semua masalah dan angan-angan saya suatu ketika saya merasa seperti ada yang salah dengan pemikiran saya. Muncul dalam pikiran saya, saya kok sepertinya hendak menjadi dewa atau bahkan Tuhan, yang maunya mengatasi semua masalah yang keluarga saya hadapi. Siapakah saya yang maunya mrantasi gawe, inginnya 'memberi kehidupan' pada keluarga saya dan banyak orang.

Saya terlalu banyak khawatir akan ayah saya, ibu saya, kakak-kakak saya, dan orang-orang yang menderita. Bukankah saya sudah berdoa? Bukankah saya sudah berusaha membantu semampu saya? Lantas mengapa saya terus saja masih merasa khawatir? Bukankah seharusya saya hanya tinggal berserah dan sisanya saya serahkan kepada kehendak Tuhan. Setiap orang punya jalan hidup masing-masing. Saya sadar. Saya belajar berserah.  

-yuliani99-

Salam Kompasiana 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun