Sejak akhir tahun lalu wacana penghapusan kolom agama di KTP banyak diperdebatkan oleh berbagai pihak. Salah satu tokoh penting yang ada di pihak pro dengan penghapusan kolom agama adalah Wagub Ahok, dan pihak yang kontra salah satunya adalah FPI. Mana yang benar?
Sebelum menentukan pertujuan atau penolakan, tentu kita harus paham dulu apa alasan dari diajukannya usul penghapusan kolom agama ini. Pengajuan dari suatu usul, kebijakan, atau program, baik itu berupa penghapusan sesuatu atau pengadaan sesuatu, sewajarnya harus dilandasi alasan yang penting kan? Maka, apa sebenarnya apa urgensi dari penghapusan kolom agama itu?
[caption id="attachment_288436" align="aligncenter" width="320" caption="wacana penghapusan kolom agama pada KTP (source: www.pkssummut.com)"][/caption]
Ahok sebagai pihak yang pro menyatakan bahwa urgensi penghapusan kolom agama yaa karena adanya kolom agama itu sendiri tidak urgent atau tidak penting, hehehe… menurut Ahok tak penting ada kolom agama dalam sebuah KTP, karena tak terlalumempengaruhi kualitas dari sumber daya manusia suatu negara. Selain itu beberapa alasan lain ditambahkan untuk memperkuat pendapat itu, mulai dari negara-negara lain juga nggak pake lah sampaipencantuman agama bisa bikin diskriminasi.
Hal itu salah satunya dikemukakan oleh Ketua Gerakan Integrasi Nasional, Maya Safira Muchtar, bahwa penghapusan kolom agama penting dilakukan Pemerintah untuk mencegah terjadinya bencana sosial akibat konflik antar-agama. Tidak ketinggalan, Anand Krisnha, spiritualis lintas agama mengemukakan, "Kolom agama dalam KTP adalah senjata bagi orang-orang tidak bertanggungjawab, bahkan bisa membuat orang saling bunuh,".
Untuk alasan yang terakhir itu saya mempertanyakan apa dasarnya. Apakah ada data orang islam mendiskriminasi tetangganya yang Kristen (atau sebaliknya) setelah lihat agama di KTP tetangganya itu berbeda dengan dirinya? Memang benar di negeri ini beberapa kali terjadi konflik karena masalah agama, tapi adakah kaitannya dengan pencantuman agama di KTP? Apakah kekhawatiran tentang diskriminasi itu sudah didasari penelitian dan data yang akurat semacam ‘70% pegawe kelurahan di Indonesia mempersulit pelayanan warga yang agama di KTP nya beda’, atau ‘80% pelamar kerja susah diterima setelah perusahaan mengetahui agamadi KTPnya ternyata I atau K atau B.’
[caption id="attachment_288437" align="aligncenter" width="358" caption="apakah kolom agama di KTP bisa dikaitkan dengan konflik agama di negeri ini? (souce: http://indonesia.ucanews.com/)"]
Saya termasuk dalam masyarakat yang sering pro dengan ketegasan dan gaya kepemimpinan ahok. Tapi kali ini saya tidak setuju dengan sang wakil gubernur. Kekhawatirannnya tentang diskriminasi gara-gara KTP masih seperti asumsi yang tidak mempunyai dasar yang kuat. Kemarin ada satu pendapat yang mengelitik tentang kekkhawatiran itu. Intinya begini;
“kalau itu bisa bikin diskriminasi, berarti kolom jenis kelamin bisa ditiadakan juga dong? Kan bisa terjadi diskriminasi dari jenis kelamin? Kolom pekerjaan bisa ditiadakan juga, dong? Kalau pekerjaannnya buruh, bisa bikin diskriminasi tuh, lalu kolom tanggal lahir bisa ditiadakan juga? Kalau dia lebih muda dari kita, bisa didiskriminasi loh, kolom alamat juga? Kalau misalnya orang tahu dia tinggal di Dolly, pasti pelacur ini, diskriminasi dong? Kolom nama, bagaimana? Kalau tahu namanya Paijo, Sukiyem, Sarkum, wah orang ndeso ini, bisa dibohongi. So, semua kolom bisa ditiadakan dong? Terus buat apa kita punya KTP?”
Satu lagi kekurangan dalam alasan diskriminsai itu. Taruhlah orang bisa sebel dan diskriminatif dengan orang lain karena lihat KTPnya beraga berbeda, apakah penghapusan kolom agama adalah solusi yang tepat?? Saya rasa itu sama aja mendorong orang untuk menyembunyikan agama dan ini mengurangi makna kebebasan beragama di negeri kita. So? Agar tidak didiskriminasi umat agama lain, kita harus menyembunyikan agama kita gitu? Identitas agama tidak boleh ditunjukkan dengan bebas gitu?? Benar-benar bukan solusi yang menyelesaikan masalah. Kalau konflik karena perbedaan agama memang ada, maka yang musti diperbaiki rasa toleransi umat beragamanya, bukan bikin KTP versi baru.
Meski alasan dari pihak pro kurang urgent, sayangnya argument dari pihak kontra juga sama-sama rada maksa. Sekjen Kementerian Agama, Bahrul Hayat, menyatakan kekhawatirannya bahwa jika kolom agama dihapuskan maka akan mendorong orang untuk tidak beragama. Lho, memangnya kita-kita ratusan juta rakyat Indonesia selama ini memutuskan untuk memeluk suatu agama cuma karena biar dicantumkan di KTP? FPI dalam mananggapi alasan pihak pro, salah satunya Ahok, lebih keras lagi. Mereka menyebut Ahok dengan ungkapan kasar seperti ‘goblok’ dan ‘tolol’.
Ketidaksantunan mereka ini memang udah biasa kita dengar, tapi kalu mereka merasa lebih cerdas dari Ahok, kenapa mereka harus sampai buang-buang emosi, energi dan sampai keluar umpatan kasar untuk menanggapi wacana yang diragukan keurgent-annya ini? Menurut saya, cerdas bukan hanya tentang tahu banyak tentang ilmu dan pengetahuan, tapi cerdas juga tentang bagaimana kita menentukan sikap terhadap suatu isu, apakah harus sangat serius, emosi, atau tenang saja. Tapi ada satu dampak negatif yang rasional sebagaimana dikemukakan oleh Belly Bilalusalam, anggota DPRD DKI Jakarta, bahwa seandainya dalam KTP tidak ada kolom agama, bisa-bisa mempermudah oknum untuk bergonta-ganti agama demi mengejar keuntungan tertentu, jika ini terjadi pastinya akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Kembali ke pertanyaan awal tadi, adakah alasan atau masalah penting yang mendasari ide penghapusan kolom agama di KTP?
Jika suatu keadaan tidak menimbulkan suatu masalah, lalu apa perlunya mau mengubah keadaan itu? Apalagi jika dengan mengubah kedaan itupun tidak menghasilkan manfaat baru. Keputusan tentang kolom agama ini nantinya akan menjadi wewenang Kemendagri, tapi menurut hemat saya, biarkanlah KTP kita dengan kolom agama biar begitu adanya seperti selama ini. Adanya KTP itu untuk keperluan statistik dan administratif berkaitan dengan dokumen kependudukan seperti peristiwa kelahiran, kematian, dan pernikahan. Apa salahnya jika memasukkan agama sebagai salah satu unsur penting identitas warga negara sehingga perlu dicantumkan? Hal ini juga relevan dengan amanat UU Administrasi Kependudukan yang baru disahkan pada pasal 64 ayat (1) bahwa setiap warga negara harus memilih satu diantara enam agama yang diakui oleh pemerintah sebagai identitas dirinya.
Untuk apa meributkan hal ini? Selanjutnya apa? Mau meributkan besarnya biaya untuk realisasi pengubahan isi KTP ini? Lebih baik para tokoh yang terhormat dan cerdas (FPI, Kemendagri, Kementerian Agama, Wagub Ahok) membahas dan memperdebatkan wacana yang lebih penting dan lebih konkrit kaitannya dengan kesejahteraan dan moral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H