Mohon tunggu...
Yuliana Pratiwi
Yuliana Pratiwi Mohon Tunggu... -

A Law Bachelor, but also interested in art: art of painting, art of cooking, art of teaching,art of designing home, art of music, and of course... art of writing ^,^

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Masihkah Wong Ndeso Se-innocent Itu?

3 Januari 2014   18:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah kamu menonton suatu film, sinetron, atau FTV yang mengisahkan kehidupan orang desa dan orang kota? Biasanya peran protagonist akan ada pada tokoh orang desa, dan sebaliknya si orang kota akan menjadi orang yang kaya, modern, serakah, dan sombong terhadap orang desa. Ingatkah kamu akan buku bahasa Indonesia jaman SD yang sering bercerita tentang si Ani dan Ipan yang berlibur ke desa nenek, desanya sejuk, orang-orang desanya ramah, jujur, baik, suka menolong? Dan bagi yang sudah pernah KKN, biasanya pernah mengikuti pembekalan ‘’bagaimana hidup di desa’’ diantara masyarakat desa yang  lugu, polos, dan sederhana.

Ya, selama ini, baik dalam berbagai karya fiksi maupun opini banyak orang, masyarakat desa telah menjadi figur ‘orang baik’ dengan karakter khas seperti sederhana, lugu, polos, ramah, jujur, suka gotong royong, tulus, nrimo, ya pokoknya orang desa itu so innocent, deh. Bahkan secara ilmiah, dalam ilmu sosiologi, orang desa juga digambarkan sedemikian itu. Talcot Parsons menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mempunyai ciri-ciri/ karakter sebagai berikut : afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan yang diwujudkan dengan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain, menolong tanpa pamrih, tidak suka menonjolkan diri, dan mementingkan kebersamaan.

Lalu berdasarkan pengalaman saya sendiri, memang iya, sih, saya sering menemukan karakter seperti itu dalam diri orang desa. Orang desa yang pernah saya temui banyak yang ramah, suka menolong dan lugu banget. Tapi beberapa tahun terakhir ini, saya menjumpai banyak orang desa dengan karakter-karakter yang tidak sama dengan yang sudah saya sebutkan tadi. Saya beberapa kali melihat orang desa kok nggak sesuci itu ternyata. Saya menemui banyak orang desa dengan karakter bertentangan dengan karakter khas orang desa dan itu mengecewakan. Karakter-karakter yang membuat saya kecewa bukan karakter yang tarafnya adalah manner atau sikap luar manusia, seperti keramahan, tapi sudah dalam taraf morailitas. Apa saja?

Pertama, masalah kejujuran. Kata sinetron, kata orang dan kata teori orang desa jujur-jujur kan? Let’s visit the Campaign or election of Village Chief. Buanyak praktek money politic disitu. Saya pernah dengar ada yang menyebutnya dengan istilah budaya wuwur, dimana calon Kepala Desa yang membagi-bagi uang pada warga untuk membeli suara mereka sudah menjadi tradisi dan rahasia umum. Sudah berkali-kali saya dengar yang kayak begituan. Terakhir, ketika main ke desa KKN saya, seorang wraga bercerita pada saya bahwa hampir semua warga barusan menerima ‘sangu’ sebelum nyoblos. Bahkan banyak yang menerima uang dari lebih dari satu calon.

[caption id="attachment_288046" align="aligncenter" width="274" caption="Fenomena Pilkades yang diwarnai Money Politic"][/caption]

Katanya orang desa jujur kan? Katanya orang desa sederhana kan? Tapi kedua karakter itu sama sekali nggak terlihat pada orang-orang desa yang berbuat semacam itu, bahkan mereka pantas menyandang dua karakter baru yang nggak pernah disebutkan dalam teori ciri-ciri orang desa, yaitu: tidak jujur dan serakah. Perasaan orang kota nggak begitu amat. Ketika musim pemilu atau caleg, memang sih pasti ada orang-orang kota yang menerima semacam uang sogokan, tapi nggak ‘sekompak’ itu deh. Misalnya pernah di RW saya sebenarnya ada yang jadi tim sukes dari seorang calon. Tapi yaa dia nggak melakukan tindakan illegal dengan membeli suara kami para tetangga kanan kiri. Kalaupun misalnya ada, ya wajar. Wajar di sini bukan berartii tindakan itu benar, tapi karena orang kota kan memang sudah sering di cap sebagai masyarakat modern yang penuh intrik dan pamrih. Jadi ya ibaratnya sekalian aja, orang udah di cap begitu inih. Ini misalnya lho. Lha, tapi untuk orang desa yang selama ini dianggap memiliki karakter-karakter menyejukkan, kok malah bisa punya pendapat ‘’calon kades kalo nggak modal banyak untuk sangu warga ya nggak bakal jadi.”

Money Politic memang bukan hal baru dalam dunia demokrasi negeri ini. Tapi rasanya miris dan kecewa banget ketika perbuatan illegal ini terjadi di pedesaan, sampai-sampai saya pernah mendengar istilah ‘’demokrasi busuk’’ ditujukan pada praktek-praktek pilkades. Duh…

Karakter ‘’baru’’ lainnya adalah kebalikan dari karakter ‘’tulus’’ dan ‘’gemar gotong royong’’. Saya menyimpulkan hal ini setelah belasan kali melihat moment hajatannya orang desa. Kita tahu kan, penyelenggaraan hajatan orang desa lazimnya melibatkan tetangga-tetangga satu desa. Kebiasaan ini disebut-sebut sebagai perwujudan karakter masyarakat desa yang suka membantu, dan tulus dalam gorong royong. Secara teknis memang hal itu masih terlihat. Kita masih dengan mudah menemukan sekumpulan ibu-ibu desa yang sedang ‘membantu’ membuat masakan atau sekelompok bapak-bapak sedang ‘membantu’ mendirikan  tenda atau tratag.

[caption id="attachment_288047" align="aligncenter" width="300" caption="Tradisi gotong royong yang sampai sekarang memang masih ada (source: romana-tari at http://sosbud.kompasiana.com/)"]

1388748333777374054
1388748333777374054
[/caption]

Namun, di balik itu, benarkah itu semua mereka sebut ‘membantu’? apakah yang namanya membantu itu diiringi pamrih dan keluhan atas bantuan yang telah dikeluarkan? “Halah, mbantu masak tiga hari sampe pegel kok cuma dikasih lima puluh ribu, Dasar pelit.”, “Pantesnya tuan rumah memberi makanan buat keluarga dari orang yang bantu-bantu, lha ini enggak sama sekali.’’ Itulah keluhan-keluhan yang berkali-kali saya dengar dalam moment hajatan orang ndesa. Si Tuan rumah pun tidak kalah bikin ilfilnya. “Duh, ini sajian sudah banyak ikan, kok pada nyumbangnya sedikit-sedikit. Bisa nggak untung ini hajatannya.”, “si Ibu dari kampung sebelah itu kebangetan, saya dulu nyumbang dia telor 10 kilo kok dia balik nyumbang saya 5 kilo, thok.” Dan banyaaak lagi karakter-karakter pelit, serakah dan tidak tulus yang kerap terlihat dari si yang punya gawe, misalnya menyuruh para pembantu membatasi atau mengurangi kualitas sajian dan oleh-oleh agar bisa dapat untung. Orang desa yang selama ini saya yakini tulus, suka berbagi, dan suka tulung menulung, kok bisa memandang acara hajatan yang seharusnya menjadi ungkapan rasa syukur menjadi ajang cari untung.  Padahal orang kota yang katanya sombong-sombong aja pernah saya lihat menghindari hal-hal semacam itu. Saya pernah menemui beberapa orang kota yang bener-bener menolak dibayar setelah membantu dan benar-benar peduli dengan kelayakan sajian pesta mereka tanpa memikirkan berapa sumbangan yang akan mereka terima.

Desa. Sebuah tempat yang sejak dulu memiliki kesan dan keistimewaan tersendiri bagi orang-orang. Salah satu tema lukisan yang menjadi favorit sepanjang masa adalah lukisan pedesaan. Anak-anak diajari untuk tahu bahwa ada tempat yang sejuk, tentram, dan selalu dirindukan, salah satunya lewat lagu Desaku. Sementara entah kenapa tempat bernama kota tidak pernah dibuatkan lagu ‘Kotaku yang Kucinta’. Orang desa, atau sering banyak orang sebut wong ndeso, selalu dipercaya sebagai orang yang palingmenentramkan, baik, dan innocent diantara berbagai lapisan masyarakat. Masihkah semua seperti itu? Semoga saja masih. atau perlu ada penelitian lagi nih untuk teori karakter masyarakat desa? :-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun