Jika kita mendengar kata MANTAN NAPI maka yang terbesit di dalam pikiran kita adalah orang yang pernah tersandung kasus pidana, pernah masuk penjara, dan dia adalah orang yang jahat. Jika seseorang di dalam lingkungan atau sutu masyarakat sia dicap sebagai seseorang yang perilakunya buruk, atau ia dianggap sebagai seorang penjahat maka selamanya ia akan dianggap seperti itu oleh masyarakat.
Umumnya masyarakat Indonesia tidak bisa menerima seorang mantan napi yang kembali ke dalam lingkungan mereka. Mereka beranggapan bahwa seseorang yang pernah melakukan suat perbutan yang melawan hukum, apalagi bagi mereka yang pernah terlibat kasus pembunuhan atau kasus-kasus berat lainya, akan sulit untuk berubah. Dan mereka juga merasa takut jikalau orang tersebut akan melakukan kembali kejahatannya yang dahulu, dan mereka juga merasa takut jika orang tersebut mencelakai ataupun melukai keluarga mereka.
Meskipun alasan-alsan tersebut dianggap wajar akan tetapi tidak sepenuhnya hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Karena dalam kenyataannya setiap napi yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) pastilah mendapat pembinaan. Lapas sendiri mempunyai pengertian sebagai sebuah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. (Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan). Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman).
Di mana di dalam lapas sendiri mempunyai empat tahap di dalam pembinaan para napi yaitu :
1.Tahap pertama. Setiap napi yang ditempatkan di dalam lembaga permasyrakatan itu di lakukan penelitian untuk mengetahui segala hal tentang diri napi tersebut termasuk tentang apa sebab dari mereka melakukan pelanggaran.berikut segala keterangan tentang diri mereka yang dapat diperoleh dari keluarga, mantan majikan atau atasan,teman sepekerjaan mereka, dari orang yang menjadi korban perbuatan mereka dan dari petugas instansi lain yang menangani perkara mereka.
2.Tahap kedua. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama sepertiga dari masa pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan, antara lain ia menunjukkan keinsafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan, maka kepadanya diberikan lebih banyak kebebasan dengan memberlakukan tingkat pengawasan medium security.
3.Tahap ketiga. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama setengah dari masa pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan baik secara fisik maupun secara mental dan dari segi keterampilan, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan memperbolehkan narapidana yang bersangkutan mengadakan asimilasi dengan masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan.
4.Tahap keempat. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama dua per tiga dari masa pidananya yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya sembilan bulan, kepada narapidana tersebut dapat diberikan lepas bersyarat, yang penetapan tentang pengusulannya ditentukan oleh Dewan Pembina Pemasyarakatan.
Oleh karena itu masyarakat tidak perlu terlalu khawatir terhadap mantan napi yang telah keluar atu bebas dari dalam penjara. Karena sebelumnya mereka telah memperoleh pembinaan di dalam lapas. Masyarakat seharusnya menerima mereka dengan tangan terbuka dan juga dapat membimbing mereka agar mereka menjadi manusia yang lebih baik lagi. Karena setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan, dan mereka juga berhak untuk mendapatkan kesempatan yang kedua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H