Aku tahu senja sudah berlalu hari ini. Demikian kamu. Aku yang selalu mengumandangkan penerimaan akan masa lalu, pelepasan, dan kerelaan tiba-tiba terjebak di depan cermin kenangan. Bahkan memeluknya. Erat semakin erat. Ini yang dikatakan tuan bijak, memori manusia bukan perintah komputer dengan shortcut shift+deltetapi virus yang sengaja ditanamkan. Semakin dihapus, semakin menyebar. Paradoks.
Sama seperti malam ini. Aku ketagihan untuk menulis. Tapi kantong mata tak jua kuat untuk terbuka. Aku mengetik dengan mata tertutup. Aku tidak bercanda, sayang. Ini yang terjadi. Entah bagaimana nanti saat bola mataku mengintip malu-malu. Mungkin ia akan melihat huruf yang saling menginjak. Aku tak peduli. Jariku menari di atas nona keyboard. Menyentuh. Mengelus lembut. Mengajarnya mengeja kata. Membaca nurani yang menjalar menuju titik-titik sentuh. Ia lahir.
Ini yang mengganjal, sayang. Sini kubisikan. Ini tentang, Cinta. Ah, aku bukan anak abege yang baru berkenalan dengan cinta. Aku bukan anak muda yang terjebak romantisme cinta-cintaan. Aku hanya ingin berkata, orang yang benar-benar mencintai dengan hatinya tidak mudah berpaling. Tidak secepat mungkin menghilang. Tidak pergi tanpa rasa. Tanggal tanpa salam.
Cinta yang tulus tidak mudah berpindah. Bahkan saat kita mencoba menukarnya dengan berbagai merek manusia. Mencoba menghadiahi mereka dengan definisi cinta yang masih sama. Bahkan memperlakukan mereka seperti yang -pernah ada-. Tapi yang tersisa hanya pertanyaan, -kenapa tidak sama?-.
Itulah cinta tulusmu. Ia yang pernah dengan ikhlas kau serahkan pada-Nya. Dalam doa. Dalam harap. Kini berada di pojok ruangan gelap tanpa tema. Paraumu berkata move on tapi orkestramu semakin memujanya. Selalu. []LR
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI