Mohon tunggu...
Lia Rayap
Lia Rayap Mohon Tunggu... Administrasi - poems, writings, and dark things.

- D A S -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perkara Mencukupkan Diri

16 Oktober 2017   10:11 Diperbarui: 16 Oktober 2017   10:45 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kadang saya merasa dunia ini hanya rekayasa atau hanya sebatas mimpi yang diberikan nikmat sadar sementara oleh Tuhan."

Dulu, kita menulis segala angan, impian, dan juga target yang sangat banyak dalam buku diari. Entah itu tentang cita-cita, kemapanan, atau jodoh. Seiring berjalannya waktu kita mulai mencoba menggapainya. Mulai tumbuh dewasa dan semakin bersemangat untuk merealisasikan impian-impian tersebut. Kita berjalan dengan kesadaran yang semakin kuat. Sadar akan rasa sakit. Sadar tentang sebuah kekecewaan. Sadar akan arti bahagia.

Kita mulai memasuki realita kehidupan sebenarnya. Kita hitung saja sejak rata-rata akal manusia dianggap telah sempurna yaitu saat akil balig sekitar umur 15 tahun. Dimana kita sudah mulai memahami mana benar dan mana yang salah. Mana yang dilarang dan mana yang dibolehkan. Karena di usia-usia tersebut pula kita sebagai makhluk egosentris mulai diuji. Kita mulai kecewa terhadap apa yang tidak bisa kita raih. Kita mulai memarahi Tuhan atas masalah yang terus saja datang. Kita mulai merasa kurang dibandingkan orang lain. Dan mulai jatuh cinta kemudian sakit hati kepada seseorang. Saat itulah kita tahu kalau sebenarnya dunia ini adalah roller coasterraksasa. Kapan saatnya tertawa dan menangis tidak bisa diperkirakan. Naik, turun, melingkar dengan cepat atau lambat tidak ada yang bisa menduga.

Rangkaian diari yang penuh dengan target pun semakin samar-samar. Kita akhirnya paham dunia mulai menunjukan keasliannya. Tidak semudah yang dibayangkan. Tidak seindah yang diharapkan. Mungkin ada yang tetap berjalan menghampiri target walaupun terseok-seok. Ada yang meninggalkannya karena tidak sanggup memikul tanggung jawab. Atau ada yang benar-benar lupa apa yang sebenarnya ia butuhkan. Dia terus menerus mengejar keinginan tanpa dasar, ini semua untuk apa sebenarnya?.

Pada akhirnya setelah semua kelelahan ini dilewati kita mulai berpikir. Cukup hidup biasa yang penting bahagia. Saat diberikan rezeki pas-pasan, kita bersyukur masih bisa makan. Kita bersyukur saat mendapatkan pekerjaan yang mungkin biasa saja di mata orang lain. Jika kita membutuhkan pasangan tetapi belum diberi, maka kita cukupkan dengan orang-orang terbaik yang ada di sekeliling kita. Mungkin seseorang yang dapat mengimbangi pola pikir kita. Seseorang yang bisa diajak bercengkrama dengan buku. Seseorang yang cerewet mengomentari kesalahan kita dengan petuah-petuah lama. Seseorang yang bahkan sibuk dengan dunianya sendiri tetapi tidak melepas pandangannya untuk kehidupan kita. Semua itu akan terasa cukup. Dan kita mulai mengenal syukur.

Inilah rekayasa dunia yang bersifat mutlak. Bagaimana cara kita menjalaninya dengan tepat akan menentukan bagaimana keadaan kita saat ini. Tidak semua burung terbang dengan ketinggian yang sama. Untuk itu, takarlah kemampuan sehingga kita mampu meminimalisir kejatuhan. Cheers. []LR

repost blog pribadi: https://amaliayulian.wordpress.com/2017/10/08/perkara-mencukupkan-diri/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun