Bila kita hanya mengandalkan teori, itu sama halnya dengan kita berusaha sampai ke tempat tujuan dengan kaki terpincang. Serta hasil kajian-kajian dan diskusi yang dihasilkan hanya akan menempel di dinding-dinding ruangan diskusi atau menjadi setumpukan arsip. Untuk itu ujung dari sebuah kajian dan diskusi adalah aksi. Walaupun pada masa ini, perkembangan teknologi begitu canggih, dimana setiap tulisan bias dengan mudah disebarkan dan dibaca oleh setiap orang. Tetapi kita tidak boleh mengesampingkan eksistensi dari sebuah aksi karena, sejujurnya kekuatan dari sebuah aksi masih begitu besar dalam menuntun sebuah perubahan.Â
Begitupun bila kita hanya mengandalkan aksi, jangan berharap akan terciptanya sebuah perubahan. Untuk menuntut suatu perubahan seyogyanya kita mengetahui apa yang akan kita rubah dan apa alasan untuk merubah. Karena landasan dari sebuah aksi adalah teori. Kita harus melakukan kajian-kajian dan diskusi terlebih dahulu sebelum melakukan aksi. Suatu aksi yang tercipta tanpa kajian hanya dipenuhi oleh nafsu emosi semata. Ibarat seseorang yang mau pergi ke kampus, tetapi dia tidak mengetahui jaan menuju kampus itu, maka pada akhirnya ia akan tersesat.
Selain hal di atas terdapat suatu hal lainnya yang menyebabkan pergerkan mahasiswa sekarang cenderung menurun. Yakni berkurangnya minat mahasiswa untuk berdiskusi dan mengkaji isu-isu terkini.
Sebuah lembaga kemahasiswaan yang menaungi seluruh civitas akademi harus berusaha untuk menghidupkan budaya literasi dalam kampus. Hal lain yang membuat menurunnya sebuah pergerakan mahasiswa banyaknya yang terpengaruh propaganda tentang sebuah aksi. Mereka menganggap aksi atau demontrasi merupakan suatu hal yang anarki, tidak mencerminkan sifat intelektual seorang akademisi. Tetapi bila semua jalan untuk melakukan advokasi tertutup, maka jalan terakhir aalah aksi. Oleh karena itu, tidak perlu anti dengan yang namanya aksi.
Akan tetapi dalam masalah aksi ini, masih terdapat mahasiswa yang bertindak sok pahlawan padahal sesungguhnya ia seorang hipokrit yang hanya mengejar eksistensi pribadi masing-masing. Biasanya mahasiswa seperti ini melakukan sebuah aksi tanpa melakukan diskusi atau kajian terlebih dahulu. Lalu, ujung-ujungnya melakukan demontrasi yang anarkis. Menyebabkan rasa simpati dari masyarakat terhadap sebuah aksi berubah menjadi antipasti. Padahal subtansi dari aksi adalah untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat. Bila suatu aksi sudah kehilangan kepercayaan dan harapan dari masyarakat, maka jangan harap perubahan itu terjadi.
Dalam hal ini sepatutnya mahasiswa menghentikan perdebatan tentang mana yang baik dalam melakukan pergerakan. Apakah teori ataupun aksi karena dalam menciptakan sebuah gerakan revolusioner tidak ada yang namanya pemisahan antara teori dan aksi.Â
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H