Mohon tunggu...
yuliadwisusanty
yuliadwisusanty Mohon Tunggu... pelajar -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Asal Usul Ranu Ranggajalu

10 Februari 2016   15:21 Diperbarui: 10 Februari 2016   15:45 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang remaja bertubuh kekar turun dari kuda. Ternyata Jalu, adiknya. Setelah lama berpisah, akhirnya mereka bertemu dan saling berpelukan. Mereka berdua masuk ke dalam rumah, menjumpai bapaknya yang sangat kurus dan terbaring lemah di atas kasur. Mereka berdua memeluk bapaknya dan bertanya apa yang sedang terjadi dengan dudun mereka.

Ki Rangga akhirnya bercerita dengan putranya yang sudah tumbuh dewasa tentang keadaaan Dusun Banjarsawah yang sedang kekeringan. “Dusun Banjarsawah sedang mengalami kekeringan, karena ada segerombol orang yang telah menutup sungai, sehingga tidak dapat mengaliri dusun mereka. Orang tersebut juga merampas harta para penduduk hingga mereka kelaparan”. Mendengar cerita tersebut amarah Jalu memuncak dan ingin menghabisi segerombol orang tesebut. Namun, sesuai yang telah Mbah Meru guru Rangga pesankan, bahwa dia harus mendinginkan hati Jalu agar tidak terjadi perkelahian.

Pada akhirnya Ki Rangga memberikan solusi tentang apa yang sedang terjadi di dusun mereka. Ki Rangga menyuruh mereka bertarung agar menarik para penjahat tersebut menemui mereka. Rangga dan Jalu pun akhirnya memopoh bapaknya ke teras dapan rumah untuk menyaksikan pertarungan yang akan mereka lakukan sesuai dengan perintah bapak mereka.

Rangga dan Jalu bertarung menggunakan ilmu yang telah mereka dapat selama berguru. Mereka mengeluarkan jurus yang berbeda, namun tak ada pemenang ataupun yang kalah saat mereka bertarung karena kekuatan mereka sama-sama kuat. Pertarungan ini ditonton oleh penduduk Dusun Banjarsawah dan mereka sejenak melupakan kelaparan yang mereka alami. Karena kekuatan mereka sama-sama kuat maka Ki Rangga menyruh mereka untuk berhenti sejenak. Mereka pun beristirah dan berbincang-bincang dengan warga setempat yang mengagumi kekuatan mereka yang sangat dahsyat, sehingga tidak ada yang terkalahkan diantara mereka.

Sore menjelang petang, mereka berdua melanjutkan pertarungan mereka yang diperintahkan oleh Ki Rangga. Rangga dan Jalu mengatupkan tangannya didepan ada seraya membaca mantra. Kemudian Rangga mengekik nafas keras. “Tapak Agni hiyaaaa.......................”. Tangan Rangga mengarah kepada adiknya, seketika udara menjadi panas. Semburan panas dari tangan Rangga mengarah ke tubuh adiknya. Tampak tubuh Jalu memerah seperti bara dan mengeluarkan asap yang sangat pekat. Dedaunan dan ranting disekitar Jalu terbakar, namun Jalu tetap bergeming mengucap mantra, dan berdiri dengan tubuh sempurna. Kedua tanganya menyilang dan dihentakkan kakinya dengan teriakan yang keras “Salju asap laangi...tttt”.

Menadadak udara menjadi sejuk, dan membuat Rangga menjadi menggigil. Udara dingin yang keluar dari mantra adiknya serasa seperti menusuk tulang belulang Rangga. Kemudian tubuh keduanya terpental kebelakang. Mereka berdua kembali bersikap sepurna dengan kedua tangan mengatup didadanya.

“Bayuuuuuuuubajra................”, tubuh Jalu melenting tinggi, setinggi pohon bambu yang ada didekat rumahnya yang kini meranggas nyaris mati.angin berhembus sangat keras seperti akan menjungkalkan Rangga. Rangga pun tak mau kalah, ia juga mengeluarkan jurus. Terdengar suara melengking tinggi Rangga “Hiyaaaaa.............angiiii..nnn gendiii..ngggggggg”. Dedaunan bertebaran tak tentu arah, benturan angin yang sangat kuat dari dua arah yang berlawanan dan membuat Rangga Jalu seketika terdorong kedepan dan kebelakang.

Tepat di tengah keduanya angin yang mereka kerahkan bertemu. Kedua ujung angin seperti membelit dan membentuk pusaran. Semakin lama semakin kuat hingga membentuk ceruk dipermukaan tanah. Lama-kelamaan ceruk semakin lebar dan dalam hingga bukan hanya pusaran tanah yang terbentuk tapi juga percikan air.

Kedua anak tersebut terus mengerahkan kekuatan hingga air semakin banyak dan berubah menjadi guyuran hujan. Penduduk berteriak senang, karena sudah sekian lama mereka tidak mendapatkan air hingga sekarang mereka melihatnya kembali.

Hari semakin petang. Rangga dan Jalu sudah tampak letih dan bersimpuh duduk. Mata mereka memejam. Angin sudah tak berhembus lagi. Namun, air akibat pusaran angin terus memancar dan menggenangi ceruk tanah.

Rangga dan Jalu berjalan dengan letihnya mendekati kubangan air. Didekat kubangan tersebut mereka bertemu, saling bertatap muka dan berpelukan. Selanjutnya mereka duduk ditepi kubangan dan tangannya meraih air. Mereka pun kembali segar kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun