Kau menjelma laksana angin beragam arah.
Menyapu gelisah di dada yang resah.
Tapi daun berkelakar tentang dahaga ranting tetangga.
Menciptakan secercah praduga antara kita. Dan, kau berkelana.
Lalu ku ingat kau sempat berujar di bawah langit biru.
Katamu, ingin merengkuh daun yang tertunduk lesu.
Meski gemuruh hujan berlumpur salju.
Kau kan tetap menyapu. Dulu. Sebelum berlalu.Â
Kini sekeping hati bergelora.
Berdansa di antara desiran waktu membisu.
Mungkinkah, sekuntum mawar mekar di antara rimbunan batu?
Kembali kau buat aku mengenangmu,
berharap temu di lain waktu.
Di antara rerumputan padang ilalang tak bertuan.
Menajam langit merajut kesepian.
Berkelakar dengan ranting dan dedaunan.
Diam. Kala ia lelah mengayun kebisuan.
Lihatlah, meski langit merupa cakrawala.
Membias sekat rona jingga.
Meski Wanita di ujung senja berpagut duka.
Tetap menunggu sepanjang masa.
----
Alhamdulillah, pada hari ini bisa mengunggah tulisan yang ke-500 anggitan sejak bergabung pada, 20 Oktober 2023. Bismillah, ke depan tetap konsisten menulis di Kompasiana. Mohon doa dan dukungan ya, Pembaca. Terima kasih sudah singgah, salam sehat selalu.
#WanitadiUjungSenja
#PuisiYuliyanti
#Tulisanke-500
#Klaten,08September2023
#MenulisdiKompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI