Suatu ketika membaca kata pengantar dari penulisnya, saya  merasa tersentuh dengan keinginan beliau yang ingin mempunyai Buku Solo.
 Apalagi yang beliau tulis tentang resep dari nenek moyang secara turun-temurun dari keluarga "Emek" begitulah Mbak Widz dan saudara memanggil ibundanya.
Sehubungan ibunda Mbak Widz sudah lanjut usia, beliau semampunya mengingat resep leluhur. Maka tak heran jika  hanya beberapa yang disajikan. Tentunya masih banyak resep lain yang pernah diracik  semasa Emek sugeng(hidup).
Bagi saya, isi buku resep ini tidak hanya menarik, tetapi menjadi istimewa lantaran terdapat filosofi, salah satunya Legenda Dewi Sri yang tak asing bagi orang Jawa.
Kesan yang saya dapatkan ketika Emek beraktivitas di dapur masih menggunakan insting kuat, tetapi juga menetapkan media "pendaringan" atau gentong sebagai tempat menyimpan butiran beras yang unik dan menarik jika diulik.
Saya sebagai pembaca turut menerawang menyusuri jejak masa silam yang indah untuk dikenang. Dan sayang jika nostalgia bersejarah hilang ditelan zaman.Â
Maka tak heran, jika Mbak Widz mengatakan buku tersebut merupakan kitab warisan keluarga yang diwariskan secara turun-temurun dan harus dijaga kelestariaanya.
Sebab, hal tersebut, selain menjadi kenangan terindah bagi beliau bersama kakak-adik, tentunya bisa diwariskan hingga kelak.
#ResepLeluhur
#RevieuBuku
#WarisanDalamKamarPendaringan
#WidzStoops
#ArtikelYuliyanti
#Tulisanke-499
#Klaten, 05 September 2023
#MenulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H