[caption caption="Salah satu film Indonesia yang populer, Naga Bonar. (Gambar: daniels.wordprss)"][/caption]Selamat Hari Film Nasional!
Loetong Kasarung, merupakan film pertama kali dalam sejarah yang mengambil cerita asli Indonesia. Film ini diproduksi pada masa kolonial Belanda yaitu pada tahun 1926 oleh G. Kroeger dan L. Heuveldrop, keduanya berkebangsaan Belanda. Walaupun film bergenre legenda tersebut tergolong bisu dan hanya mengambil sudut pandang sisi positif kehidupan masyarakat Indonesia di masa penjajahan, namun film Loetong Kasarung tetap merupakan tonggak sejarah dunia perfilman Indonesia.
Pada tahun-tahun berikutnya mulailah diproduksi film seperti Euis Atjih, Lily van Jawa, Resia Borobudur, Njai Dasima, Rampok Preanger, Si Comat, De Stem Des Bloed, Karnadi Anemer Bangkong, Lai Ka Arab, Melti van Agam, Nancy bikin Pembalasan, dan lain-lain. Tetap sama seperti Loetong Kasarung, semua film kolonial Belanda tergolong bisu. Produsernya, jika bukan orang Belanda ya orang Tionghoa.
Tahun 1931, Indonesia memasuki film bicara buatan dalam negeri lewat film Atma de Vischer. Di era ini, film lebih menarik dan mudah dipahami karena telah menyajikan percakapan menggunakan bahasa Melayu campuran. Temanya juga bervariasi, namun kebanyakan masih mengambil cerita legenda dan sedikit unsur seni bela diri silat yang ternyata mampu memberi semangat rakyat untuk melawan Belanda.
Film Terang Boelan yang diproduksi tahun 1937 kemudian melegenda sampai sekarang. Film yang bergenre romantis ini diproduksi oleh ANIF yang disutradarai oleh Albert Balink dengan bintang Roekiah dan Rd Mochtar. Film demi film yang diproduksi akhirnya mampu mengibarkan nama Roekiah, Rd Djoemala, S Waldy, dan Rd Mochtar menjadi idola rakyat pribumi. Sekedar informasi bahwa penayangan film pada saat itu dilakukan di bioskop di bawah pengawasan dan sensor ketat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Prestasi film terbanyak diproduksi pada tahun 1941 yang tercatat berjumlah 32 film. Genre mulai sedikit beragam, mulai dari drama, crime, fiksi, laga, komedi, dan lain-lain. Film yang terkenal antara lain Air Mata Iboe, Jantoeng Hati, Elang Darat, Koeda Sembrani, Elang Darat, Tengkorak Hidoep, dan Srigala Hitam. Sayang pada tahun berikutnya film Indonesia hanya diproduksi sebanyak tiga buah karena sedang dilanda krisis akibat perang dunia II.
Jepang masuk ke Indonesia dengan jargon Saudara Tua dari Asia. Film yang diproduksi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia berisi propaganda tentang kebaikan Jepang. Seperti propaganda Heiho, juga propaganda nasib pekerja romusha yang dianggap lebih manusiawi daripada kerja paksa oleh Belanda. Padahal semua itu sama saja, film dan politik menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan.
Selama itu, Jepang melarang film asing masuk ke Indonesia karena takut akan berpengaruh terhadap pola pikir rakyat untuk memberontak. Beberapa film yang diproduksi antara lain Di Desa, Di Menara, Djatuh Berakit, Gelombang Hoedjan, Keris Poesaka, Ke Seberang, serta Koeli dan Romusha. Pada masa Jepang produksi film memang mengalami penurunan kuantitas.
Pasca kemerdekaan, film Indonesia sempat vakum karena masih dalam masa perjuangan dalam mempertahankan kedaulatan NKRI. Barulah mulai tahun 1948 diproduksi tiga film yaitu Air Mata Mengalir di Tjitaroem (Tan Wong Bros), Anggrek Boelan (South Pasific Film), dan Djaoeh Di Mata (South Pasific Film). Di tahun berikutnya 1949 kehidupan film mulai bergairah dengan diproduksinya delapan film.
Sejarah perfilman Indonesia mulai merangkak lagi di tahun 1950. Jiwa merdeka mulai menyusup dalam ide pembuatan cerita, termasuk merdeka berkreativitas. Terjadi kehebohan pada masa ini, di mana film berjudul Antara Bumi dan Langit yang disutradarai Dr Huyung untuk pertama kalinya berani menampilkan adegan ciuman antara bintang S Bono dengan Grace. Gelombang protes pun dimulai.
Terlepas dari semua itu, pada tahun 1950 tercatat ada 24 produksi film nasional yang menunjukkan semangat membangun kemajuan bangsa di bidang teknologi. Selanjutnya tahun 1951 perkembangan film Indonesia mencapai masa puncak dengan 64 produksi film. Waktu itu diadakan Festival Film Indonesia untuk mengajak penduduk mencintai film karya anak bangsa.