Sekali lagi, saya sedih. Ironi dunia pendidikan di Indonesia yang kembali menuai citra negatif dari aksi kekerasan yang dilakukan senior terhadap junior. Belakangan banyak pemberitaan di media massa dan tak sedikit juga yang sampai menjadi headlinemengenai tewasnya siswa STIP akibat penganiayaan. Entah jika menurut sudut pandang pelaku ini hanya pemukulan biasa, tapi saya pribadi menilai hal ini adalah penganiayaan.
Lagi, lagi, dan lagi, jejak kelam STIP menimbulkan korban. Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, bukan Sekolah Tinggi Ilmu Pemukulan. Institusi ini seolah tidak pernah belajar dari kesalahan, sehingga kejadian yang sama terus berulang.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tercatat sudah enam kali kasus kekerasan yang ditangani polisi. Ini pun hanya yang ditangani polisi, belum lagi yang tidak ditangani. Pada 12 Mei 2008, Agung B Gultom (Taruna tingkat 1) tewas di tangan 10 taruna senior. Bulan November tahun yang sama, Jegos (Taruna tingkat 1) dianiaya hingga gegar otak. Menurut data Polda Metro Jaya, pada tahun 2012 dan 2012 terjadi masing-masing satu tindak kekerasan. Tahun berikutnya, nyawa Dimas Dikita Handoko (Taruna tingkat 1) melayang.
Terakhir, yang masih hangat, pada 10 Januari 2017, Amirulloh Adityas Putra (Taruna tingkat 1) dianiaya hingga tewas oleh lima senior satu tingkat di atasnya. Amirulloh dianiaya bersama lima temannya dengan alasan “tradisi” menurunkan keterampilan drum band. Yah bro, alat drum band milik negara, bukan milik mbahmu. Sampai ada tradisi seperti itu, miris sekali.
STIP merupakan salah satu dari banyak Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) yang menggunakan sistem pendidikan semi militer. Berbeda dengan Akmil, AAL, dan AAU yang memang menerapkan sistem militer murni, sistem semi militer hanya mengadopsi hierarki, pembinaan fisik, dan kedisiplinan di mana taruna tinggal di dalam asrama.
Pembentukan disiplin yang berlebihan, ditambah dengan senioritas tinggi merupakan salah satu penyebab kekerasan senior atas junior kerap terjadi. Ada sebuah paradigma negatif dari penerapan sistem semi militer di mana senior menganggap dirinya sebagai raja yang bisa berbuat apapun kepada junior seperti budak. Sebagai junior, mau tak mau, suka tak suka, harus menjalankan “perintah” senior.
Sistem semi militer itu sama sekali tidak buruk, dan menurut penilaian saya pribadi, sistem tersebut sangat baik. Pribadi yang disiplin, memiliki fisik dan mental yang kuat, serta jiwa espirt de corpsmenjadi goal dari penerapan sistem ini. Taruna memiliki jiwa kepedulian yang tinggi terhadap sekitar. Namun, sistem ini juga memiliki kelemahan yang bisa disalahgunakan oleh oknum tertentu untuk berbuat semena-mena.
Kasus kekerasan dalam dunia penddikan di Indonesia tidak hanya terjadi di STIP. Di PTK lainnya, saya yakin bahwa kejadian yang sama tidak menutup kemungkinan juga terjadi. Seperti contohnya beberapa tahun lalu di IPDN yang juga menewaskan salah seorang taruna. Bukan hanya PTK, di Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta juga pernah terjadi kasus kekerasan yang dilakukan senior terhadap junior.
Untuk kasus di STIP ini, saya punya beberapa kritik dan sindiran yang mungkin terlihat konyol. Pertama, coba pikir, lulusan STIP nantinya bekerja menjadi apa? Saya tidak tahu pasti, namun pastinya mereka bekerja di kapal, menjadi awak kapal, nahkoda, berlayar, atau apapun yang berhubungan dengan kapal laut. Coba pikir sekali lagi: untuk apa ada kekerasan? Apa relevansinya dalam dunia kerja nanti?
Menjadi nahkoda, awak kapal, teknisi, dan hidup di kapal laut untuk berlayar selama berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan, saya yakin ilmu kekerasan tersebut tidak akan terpakai. Apa iya, dunia pelayaran sekarang saling merompak kapal satu sama lain sehingga perlu memakai jurus tersebut? Kan ya enggak. Toh,saat kapal mereka dirompak (lihat contoh di Somalia dan Filipina), mereka tidak bisa melakukan perlawanan berarti. Jadi, buat apa kekerasan?
Coba pikir ulang. Kritik ini tidak hanya berlaku untuk para pelaku yang sudah ketahuan, tapi untuk siapa pun yang berniat melakukan tindakan tersebut kepada juniornya. Baik itu di STIP, IPDN, maupun perguruaan tinggi lain. Tindakan kekerasan tersebut hanya menyisakan dendam, tidak mendidik! Hasilnya apa? Bahkan petinju kelas dunia seperti Chris John pun tidak lahir dari sistem pendidikan seperti itu.