[caption caption="Sunrise di Gunung Bromo"][/caption]
Hari terakhir di Bulan Desember tahun 2015, aku masih belum punya rencana di mana dan bagaimana menghabiskan waktu di malam tahun baru. Dalam pikirku, jalan-jalan di kota sambil melihat kembang api sangat membosankan, ditambah lagi dengan kemacetan lalu lintas yang hanya membuat lelah tanpa kepuasan yang tidak sebanding. Nongkrong, ngobrol sana-sini, jalan lalu macet, dan panas, itulah gambaran yang terjadi pada saat malam tahun baru di Kota Pasuruan. Hanya demi melihat warna-warni kembang api, masyarakat rela berdesakan dengan membawa anak-anaknya yang masih kecil, dan kadang kala menangis di tengah keramaian.
Terlintas sedikit ingatan kalau aku punya sepupu yang mengabdi sebagai bidan di sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Bromo. Desa itu bernama Ngadiwana, berada di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Desa Ngadiwana adalah desa yang dihuni oleh Suku Tengger, yang mayoritas adalah petani dan pemilik perkebunan. Di sana dapat dijumpai Pura, layaknya sedang berada di Bali, karena sebagian masyarakat beragama Hindu. Sepupuku tidak mengambil cuti tahun baru karena masih mempunyai tanggung jawab terhadap lima orang ibu yang masih mengandung dan akan melahirkan.
Akhirnya, siang hari itu aku putuskan untuk berangkat ke Ngadiwana dengan mengajak adik, sepupu, dan seorang ‘teman wanita’. Sore kita berangkat setelah menunggu teman wanitaku pulang kerja dengan menggunakan dua motor. Sebenarnya perjalanan menggunakan motor ini sangat berisiko, kecuali rombongan dengan motor lebih dari tujuh buah. Di sepanjang jalan dari Pasuruan menuju ke Tosari banyak terjadi kasus perampasan sepeda motor atau yang biasa disebut begal.
Dengan hati yang mantap dan niat silaturahim karena telah lama tidak bertemu, kita berempat pun berangkat pelan-pelan. Cuaca sepanjang jalan mendung, dan di beberapa tempat yang kita lewati turun hujan. Karena itu kita memakai mantel mulai dari awal perjalanan hingga sampai di Ngadiwana yang memakan waktu sekitar dua jam.
Sesampainya di gapura masuk Desa Ngadiwana, kita disambut senyuman ramah masyarakat Suku Tengger dengan  jaketnya yang khas yaitu sarung. Masyarakat pedesaan di dataran tinggi memang lebih suka memakai sarung untuk penahan dingin, alasannya karena murah dan hangat.
Hari sudah malam, angka di termometer dinding menunjukkan 17 derajat celcius. Kita yang dari dataran rendah tidak tahan dengan dinginnya udara pegunungan. Kaki tidak berani menempel di lantai, air di kamar mandi melimpah namun jarang digunakan. Haha, iyalah. Matahari pun jarang menyinari daerah ini. Saat pagi sinar matahari terhalang oleh bukit sekitar, siang hari kabut turun, dan sore hari kadang kala terjadi hujan.
Malam itu aku langsung tidur setelah makan malam karena berencana untuk melihat kembang api saat jam 12 tepat dan setelahnya pergi melihat sunrise di Gunung Bromo. Sesekali aku terbangun oleh bunyi bel rumah yang dinyalakan oleh pasien yang akan berobat. Selain menjadi bidan, sepupuku dan suaminya juga menjadi perawat orang-orang sakit di sana. Sungguh pengabdian yang mulia, menurutku.
Tengah malam aku terbangun karena suara ledakan yang sangat keras. Kemudian aku keluar rumah, ternyata ledakan itu adalah suara kembang api. Konon, suara kembang api di sana menjadi lebih keras dari biasanya. Hehe iyalah, suaranya menggema akibat pantulan dari bukit di sekeliling desa. Meskipun tidak seberapa ramai, percikan warna dari kembang api mampu meredam dinginnya udara saat itu. Sebuah momen yang menurutku cukup romantis, bersama teman wanita, memandangi serbuk mesiu yang terbakar di udara, dengan latar belakang langit penuh rasi bintang.
Lanjut, kita berempat berangkat ke Gunung Bromo. Jarak dari Ngadiwana ke Gunung Bromo cukup dekat, hanya perlu waktu satu jam perjalanan. Dandanan kami seperti penduduk setempat yaitu memakai sarung sebagai jaket, dengan harapan tidak diberhentikan di pos perizinan masuk TN BTS. Sekedar informasi, TN BTS adalah kepanjangan dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yaitu kawasan konservasi alam yang wilayahnya mencakup empat kabupaten antara lain Pasuruan, Probolinggo, Malang, dan Lumajang.
Malam itu nampaknya kurang beruntung, kita tetap diberhentikan di pos perizinan masuk oleh petugas dan terpaksa harus membeli tiket. Aku terkejut dengan mahalnya tiket masuk yaitu 32.500 rupiah per orang, dari sebelumnya hanya 10.000 rupiah. Aku sempat menanyakan alasan kenaikan tiket kepada petugas, dia menjawab untuk perbaikan sarana dan prasarana. Tapi ternyata, setelah ku lihat tidak ada perubahan apalagi perbaikan sarana dan prasarana yang ada, masih tetap seperti dulu. Piye toh Pak..