Mohon tunggu...
Yulia Wardani
Yulia Wardani Mohon Tunggu... Karyawan -

Gadis Minang yang menyukai literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpikah Ini? Part 1

1 September 2014   03:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:58 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Minggu ini terlalu cerah jika hanya kunikmati dengan berdiam diri di rumah. Aku ingin menikmatinya sejenak. Mungkin, dengan berjalan ke pusat perbelanjaan sekedar cuci mata. Mungkin, menyusuri taman kota untuk menyegarkan kembali pikiran dan perasaan. Atau mungkin, berkunjung ke perpustakaan, membaca beberapa buku penambah ilmu, atau sekedar menikmati suasana perpustakaan yang damai, nyaman dan menyenangkan. Ya, aku harus melakukan itu.

Cahaya pagi menelisik di antara dedaunan bambu yang tumbuh tak jauh dari rumah. Sinarnya hangat menyentuh kulitku yang masih merasakan gigil selepas mandi. Air di sini selalu saja dingin, meski waktu telah beranjak siang. Untuk menghangatkan tubuhku, kuseduh secangkir teh kesukaanku, teh melati.

"Mau ke mana, La? Pagi-pagi sudah rapi." Tegur Ibu ketika aku tengah menyesap teh hangatku.

"Shila ingin jalan-jalan, Bu. Sudah lama nggak jalan di kota ini. Kangen juga, Bu."

"Baguslah! Sesekali kamu perlu juga menyegarkan pikiran. Jangan cuma kerjaan yang dipikirkan. Mumpung hari libur dan udaranya mendukung."

"Iya, Bu. Ibu ikut ya," bujukku agar Ibu mau menemaniku.

"Kamu saja. Kalau malas jalan sendiri, ajak temanmu yang bisa. Ibu banyak kerjaan di rumah." Ibu menolak.

"Tuh, kan Ibu! Kerjaan juga yang dipikirin." Balasku.

Ibu malah tertawa. Aku pun ikut tertawa, tepatnya menertawakan kesamaan aku dan Ibu, sama-sama terlalu memikirkan pekerjaan.

Matahari semakin menanjak naik. Kusempatkan melaksanakan dhuha sebelum berangkat. Semoga apa yang kulakukan hari ini membawa berkah untukku dan orang-orang di sekelilingku.

"La, kamu tidak lupa sarapan kan, Nak?" Ibu mengingatkan. Sedari kecil aku sudah dibiasakan oleh ibu untuk selalu sarapan walaupun sedang diburu waktu. Katanya, sarapan itu penting agar aku tetap kuat dan tidak gampang lelah. Aku selalu menuruti kata-kata ibu.

"Tidak, Bu." Jawabku.

"Aku berangkat dulu ya Bu. Assalamu'alaikum." Ucapku kemudian dan berpamitan padanya.

Ibu melepasku dengan senyuman dan selalu berpesan, hati-hati.

Hari ini aku serba ungu, warna kesukaanku. Kerudung, baju, rok dan tas berwarna ungu, kecuali sepatu. Aku lebih senang memakai sepatu berwarna putih.

Wajah pagi terlihat riang, seriang hatiku. Entah apa sebab, pagi ini hatiku terasa ringan, riang dan seperti ada kebahagiaan yang aneh menyusupinya. Mungkin aura langit yang bersinergi dengan hatiku, entahlah. Kunikmati sebagai satu bentuk kesyukuranku pada sang Pencipta.

Aku mulai melangkah, menyapa setiap orang yang berpapasan denganku. Berhenti di pertigaan sembari menunggu angkot lewat. Bercengkrama dengan beberapa pengojek yang tengah menanti penumpang. Obrolan yang ringan, namun tetap menyenangkan. Selang beberapa menit, angkot yang kutunggu pun datang. Aku bergegas melambaikan tangan. Angkot itu tepat berhenti di hadapanku. Aku menaikinya setelah berpamitan dengan bapak-bapak pengojek yang mengobrol denganku tadi.

"Shila, kapan pulang? Kenapa nggak pernah kelihatan?" Sapa sopir angkot itu yang ternyata pun mengenaliku.

"Sebulan yang lalu, Bang. Jarang keluar rumah soalnya." Jawabku. Kemudian, aku dan sopir angkot itu serta beberapa penumpang lainnya terlibat obrolan ringan. Ya, mungkin hanya sekedar basa-basi.

###

Waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Aku memutuskan mengunjungi perpustakaan terlebih dahulu. Aku sudah teramat rindu dengan suasananya, kenyamanan dan keramahan mereka yang bekerja di sana. Ah, aku ingat. Dulu ada bapak-bapak yang selalu menyediakan buku-buku bagus untukku. Apakah sekarang bapak itu masih bekerja di sana?

Aku mengedarkan pandangan, mencari sosok bapak itu dan orang-orang yang mungkin aku kenal. Ah, aku menemukannya! Bapak itu tengah sibuk melayani pengunjung yang mungkin sedang meminjam atau mengembalikan buku. Aku harus menyapanya.

"Assalamu'alaikum. Ada buku bagus hari ini, Pak?" sapaku dengan suara terkendali.

Bapak itu, entah siapa namanya, aku lupa, mengangkat wajah sembari menjawab salamku. "Tentu saja, Nak." Ucapnya pasti.

Kulihat ia memperhatikan wajahku, seksama.

"Sepertinya Bapak mengenalmu. Tunggu, kau... Kau yang selalu menitipkan buku yang kau suka karena tak boleh meminjam lebih dari dua buku dan kau akan meminjamnya di hari berikutnya, bukan?" Bapak itu mencoba mengingatku.

Aku tertawa riang, "Ya, Bapak benar! Lalu, Bapak akan memilihkan buku-buku yang bagus untukku setiap kali aku berkunjung, bukan?"

Bapak itu tertawa lepas. Ada bahagia yang terpancar dari derai tawanya.

"Bagaimana kabarmu, Nak? Lama sekali kau tak mengunjungi Bapak di sini."

"Aku baik, Pak. Bapak kelihatan semakin muda saja." Aku sedikit bercanda. Beliau kembali tertawa.

Tempat ini masih sama dengan setahun silam. Rak-rak penuh buku itu masih berjejer di sepanjang ruangan. Area bermain anak-anak kini semakin lengkap. Banyak balok-balok mainan di ruangan itu. Buku bacaan anak pun semakin lengkap. Aku masih berkeliling, menyapu setiap sudut perpustakaan dengan kedua mataku. Ah, aku ingat tempat favoritku. Tempat dimana aku sering menghabiskan waktu dengan tumpukan buku fiksi yang kubaca bagian awal, tengah dan akhirnya saja. Tempat dimana aku menghabiskan hari bila hatiku tengah tak menemukan pijakannya. Tempat dimana aku merangkai kalimat-kalimat mimpi yang selalu kugenggam. Tempat dimana aku menunggu hujan turun dan menyaksikan butirannya menyentuh kaca-kaca jendela. Aku kembali rindu tempat itu.

Aku bergegas menuruni anak tangga. Menyusuri lorong menuju ruang fiksi. Sejenak kukitari rak buku yang ada di sana, membaca beberapa judul dan memilih beberapa buku yang ingin kubaca. Sudut paling kanan ruangan itu seakan memanggilku. Merayuku agar segera duduk manis melahap buku-buku yang kini ada di tanganku. Tentu saja, aku hanya akan membaca bagian awal, tengah dan akhirnya saja. Aku memilih duduk di kursi yang mengarah jendela agar lebih leluasa menikmati hujan jika tiba-tiba ia menyapa.

Azan Dzuhur berkumandang dari Masjid yang berada di sebelah utara perpustakaan. Aku menutup semua buku yang terbuka, menyusunnya dan meninggalkan di meja. Untung di lantai dasar itu ada Mushalla. Kubisa langsung menunaikan kewajiban di sana. Mushalla itu tidak luas, tetapi bersih dan nyaman. Beberapa pengunjung pun bergegas melaksanakan seruan-Nya. Kapan pun dan di mana pun, kewajiban tetaplah harus ditunaikan sebagai bentuk pengabdian seorang Hamba.

"Kak," seorang gadis remaja menegurku. "Boleh aku pinjam mukenanya?" Tanyanya kemudian.

"Oh, tentu saja. Silakan!" Jawabku sembari mengangsurkan mukena yang hendak kulipat.

Kurapikan jilbab dan kuambil mushaf Al Quran dari dalam tas kecilku. Kusempatkan tilawah sambil menunggu gadis tadi selesai shalat. Ada kesejukan yang kurasa mengisi hatiku. Aku selalu merasa damai setiap kali membaca ayat cinta itu.

###

Perpustakaan semakin ramai. Banyak mahasiswa yang mengerjakan tugas kuliah di sana. Aku kembali ke mejaku semula, melanjutkan melahap buku-buku yang kutinggalkan tadi. Pandanganku tertuju pada seseorang yang kini menduduki kursiku. "Siapa dia?" Tanyaku pada diri kusendiri.

"Maaf, Anda mengambil tempatku dan membaca buku-bukuku." Ujarku begitu sampai tepat di samping lelaki itu.

Ia menoleh, menatapku. "Oh Tuhan! Lelaki itu? Ah tidak! Bagaimana bisa?" Hatiku risau. Ada debaran aneh perlahan menyusup di celah-celah jantungku, menghasilkan degupan yang tak biasa.

"Maaf!" Balasnya menyipitkan mata. "Shila? Kamu beneran Shila?" Tanyanya dengan tatapan mata yang... Ah sudahlah!

"Iya," jawabku kikuk.

"Kamu masih ingat aku? Dulu kita satu kampus. Kamu nggak ingat?" Burunya dengan tanya.

"Mana mungkin aku tidak ingat? Bahkan hanya mendengar suaramu saja, aku bisa mengenalimu. Kenapa kita harus bertemu di sini?" Kalimat itu hanya tertahan di tenggorokanku. Aku hanya terpaku, menatap bingung.

"Aku Gio, yang selalu cuek dan apa adanya. Kamu masih tidak ingat?" Lelaki itu menjelaskan.

"Aku ingat. Kamu, Gio kan?" Jawabanku terdengar seperti orang bodoh. Aku terlalu sulit mengontrol hatiku.

"Hahaha, kamu kenapa linglung begitu? Oh ya, maaf! Aku mengambil tempatmu tanpa izin. Aku terpesona dengan buku ini." Tuturnya sambil menunjukkan buku yang sedang ia baca.

"Nggak apa kok. Aku bisa di tempat lain."

"Nggak! Kamu di sini saja. Kita bisa mengobrol sebentar, kalau kamu mau."

Aku tak menjawab. Kutarik kursi yang ada di samping kirinya dan kupilih dua buku yang hendak kubawa pulang. Kuingin segera beranjak dari sana. Bukan karena tidak menyukai kehadiran Gio, tetapi aku takut perasaan dulu yang diam di hatiku muncul kembali.

"Aku tidak akan pernah punya kesempatan untuk memiliki rasa itu." Gumamku.

"Selalu ada kesempatan untuk cinta."

"Apa?" Tanyaku kaget. Jangan-jangan dia mendengar gumamanku.

"Selalu ada kesempatan untuk cinta." Ulangnya.

"Maksud kamu apa?"

"Aku baca di buku ini. Dan, itu benar. Selalu ada kesempatan untuk cinta."

"Hm, Gio, aku harus segera pergi. Lain kali kita ketemu lagi. Maaf ya!"

"Kenapa buru-buru? Kamu marah? Aku minta maaf! Lain waktu aku akan bersilaturrahmi ke rumahmu."

"Silakan saja, itu pun kalau kamu tahu di mana rumahku. Sudah ya! Aku jalan dulu." Aku bergegas meninggalkannya.

"Shila," Gio kembali memanggilku.

"Apa?"

"Selalu ada kesempatan untuk cinta." Lelaki itu tersenyum, senyum yang selalu kusuka.

Aku meneruskan langkahku menaiki anak tangga.

"Apakah benar, selalu ada kesempatan untuk cinta?"

###

Selalu ada kesempatan untuk cinta.

Matahari mulai bergeser dari puncaknya. Dalam hitungan jam, senja akan sempurna membingkai kota ini. Keramaian masih terlihat di berbagai sudut kota. Banyak wisatawan yang datang dari berbagai daerah. Mereka menikmati liburan akhir pekan bersama keluarga. Tidak heran jika kotaku selalu ramai hingga malam menjelang karena memang kota ini dijuluki kota wisata. Alamnya yang indah dan peninggalan budaya yang menyejarah menjadi daya tarik wisatawan. Belum lagi, aneka kuliner yang menggugah selera. Kota kecil ini selalu membuatku rindu. Rindu pada kegagahan Marapi yang bersanding dengan keelokan Singgalang. Kotaku berada di antara kedua gunung itu.

Aku melanjutkan langkah ke arah Jam Gadang dan menikmati sore menjemput senja di sana. Di pelataran taman, telah banyak pedagang yang menggelar dagangannya. Berbagai aksesoris, pakaian, dan cenderamata menjadi andalan mereka. Aku terus menyusuri arah timur taman itu. Mencari tempat yang nyaman di bawah pepohonan yang rindang.

Senja masih lama. Kuambil sebuah catatan yang selalu kubawa ke mana pun kupergi. Sejenak aku ingin menulis. Menuliskan kehidupan yang kini terpampang di hadapanku. Kehidupan mereka dengan berbagai latar belakang. Para pedagang, wisatawan, para remaja, anak-anak jalanan, pengamen, badut, fotografer, dan anak-anak balita yang berlarian di taman. Pun anak kecil yang merengek meminta dibelikan mainan. Kehidupan di sini penuh warna. Semuanya berbaur menjadi satu, menciptakan simfoni yang indah.

Aku masih menarikan penaku ketika seseorang menyapa.

"Kakak di sini?"

"Ya, kamu siapa?" Aku memandang ke arahnya, lantas balik bertanya.

"Aku Gina, Kak. Senang bertemu kakak lagi." Gadis di sampingku mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.

"Aku Shila. Kamu yang ketemu di perpus tadi bukan?"

"Benar Kak. Makasih ya Kak, udah minjamin aku mukena. Kak Shila kenapa sendirian aja? Itu lagi ngapain?" Gadis bernama Gina itu ternyata menyenangkan juga. Banyak tanya dan mudah akrab dengan orang lain. Ia terlihat ceria, senyum tak lepas dari wajahnya.

"Aku memang lebih suka sendirian kalau ke mana-mana. Aku cuma coret-coret aja, pengisi waktu."

"Kakak menulis atau melukis?"

"Menulis, Gi. Kenapa?"

"Nggak, tadi kulihat serius amat."

"Kamu bisa aja."

Gadis itu tersenyum, masih mengamati gerak tanganku.

"Oh, ya! Sebentar ya Kak." Ia mengambil ponsel dari ranselnya dan menelepon seseorang.

"Bang, dua ya. Nggak pake lama!"

"...."

"Iya, buruan. Ada deh..."

Sekilas aku mendengar percakapannya. Entah apa yang dibicarakan, mungkin ia tengah memesan makanan, minuman atau apalah. Aku tidak menghiraukannya, tanganku masih ingin menulis dan hatiku masih ingin merasa.

"Shila?" Sebuah suara menyebut namaku. Jantungku berdegup aneh, wajahku yang tadi fokus ke buku catatan langsung terangkat.

"Gio?" Lidahku tanpa aba-aba langsung menyebut nama itu.

Sejenak aku dan dia bersitatap, aku lupa ada Gina bersamaku.

"Abang kenal sama Kak Shila?" Gina bertanya tanpa menyembunyikan rasa penasarannya. Ada keheranan dari sorot mata itu.

"Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Bukankah begitu, Shila?" Gio tak menghiraukan tanya yang dilontarkan Gina padanya.

"Ya, kebetulan yang... menyenangkan." Jawabku sedikit kikuk.

"Wah, ternyata sudah pada kenal. Benar-benar kebetulan yang menyenangkan. Omong-omong, kalian kenal di mana?"

"Teman kuliah Abang, Gi."

Ada senang, ada sedih. Begitulah hatiku kini. Aku senang berkenalan dengan Gina. Ia gadis yang menyenangkan. Aku pun senang bertemu lagi dengan Gio di sini. Tetapi, entah mengapa ada perasaan lain menyelinap di hatiku. Melihat Gina yang sepertinya sangat dekat dengan Gio membuatku sedih. Perasaan apa ini? Apa ini yang dinamakan cemburu?

"Bang, mana titipanku?" Suara lembut Gina bertanya.

"Nih.." Gio mengangsurkan sebuah kantong plastik yang entah apa isinya. Gina mengambil dan merogoh isi dalamnya.

Gina tersenyum, "Abang memang pintar! Pas banget!"

"Kamu ya, kalau maunya udah diturutin, selalu bilang Abang pintar." Gio mengacak ujung jilbab Gina. Ah, nyeri itu semakin menyentuh hatiku.

"Maaf ya, Gio, Gina. Aku harus pulang, sudah sore." Aku ingin segera pergi dari tempat itu. Aku tak ingin rasa sakit ini menggerus hatiku semakin dalam. Ini semua telah membuktikan bahwa masih ada 'sesuatu' yang tersimpan untuknya. Biarlah aku menyimpannya kembali.

"Kenapa buru-buru, La? Kamu nggak mau menikmati senja di sini? Bukankah kamu amat menyukai senja?"

"Senja tidak akan terlihat dari sini. Terhalang oleh gedung-gedung itu. Aku bisa melihatnya dari depan rumah." Ujarku sembari memasukkan catatan dan penaku ke dalam tas.

"Kak, sebagai tanda perkenalan kita, Kakak terima ini ya. Aku sangat berharap Kak Shila mau menjadi Kakakku. Bolehkan, Bang?" Gina menyerahkan sebuah catatan berwarna ungu, lalu meminta persetujuan pada Gio.

"Tentu saja. Kelak kita akan sering menikmati senja di depan rumahnya. Pasti menyenangkan, Gi!" Gio berujar santai. "Oh, ya! Aku pinjam sebentar buku dan pulpenmu. Ada sedikit pesan untukmu." Gio meraih buku yang ada di tanganku. Mau tak mau aku mengambil lagi pulpen dari dalam tas dan menyerahkan padanya.

Entah apa yang ditulisnya. Ia tersenyum, lalu menyerahkan lagi padaku.

"Jangan baca sekarang. Kalau sudah sampai rumah baru boleh baca."

Aku jadi penasaran. Gina pun menatap bingung padanya. Kenapa ia jadi misterius begini?

"Baiklah. Aku duluan. Sampai jumpa lagi, Gina. Assalamu'alaikum."

"Lain kali ketemu lagi ya, Kak. Wa'alaikumussalam."

Aku mulai melangkah menjauhi mereka. Biarlah setengah hatiku tertinggal di sana. Setengah hati yang pernah kupersiapkan untuk kuserahkan padanya. Namun kini, itu hanyalah impian belaka. Biarlah kujaga setengah hati yang masih kubawa.

"Shila," Kudengar Gio kembali memanggilku.

Aku berpaling.

"Selalu ada kesempatan untuk cinta."

Kalimat itu lagi. Apa dia ingin menertawakanku? Mengatakan bahwa sesungguhnya tak ada kesempatan lagi bagiku untuk mencintainya. Jika memang benar, aku tidak ingin lagi bertemu dengannya.

Aku menarik napas yang begitu menyesakkan. Memandang buku catatan yang ada dalam genggamanku. Penasaran dengan pesan itu. Ah, biarlah. Nanti saja. Aku segera melangkah, terus melangkah, dan tetap melangkah. Biar waktu yang mengobati segala luka. Biar waktu yang menjawab segala tanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun