Mohon tunggu...
Yulia Wardani
Yulia Wardani Mohon Tunggu... Karyawan -

Gadis Minang yang menyukai literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpikah Ini? #Part 2 (Habis)

14 September 2014   18:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:43 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Yulia WR

Selalu ada kesempatan untuk cinta.

Kususuri lagi jalan menuju rumah, berharap senja masih setia di sana, di batas cakrawala. Pikiranku tak bisa lepas dari kalimat yang beberapa kali diucapkan Gio padaku. Sebenarnya ada apa? Kenapa kalimat itu seolah memojokkanku, menertawakan apa yang ada dalam hatiku saat ini. Mungkin, mencintainya dalam diam adalah satu kesalahan. Tapi, apakah aku tidak pantas walau sekedar mencinta? Aku tidak menuntut rasa itu berbalas. Biarlah takdir terbaik menjadi ujung segalanya.

Gina. Gadis itu tampak sangat mencintai Gio. Sikapnya yang manja membuat nyeri di hatiku. Apalagi Gio memperlakukannya dengan sangat manis. Ah, beginikah rasanya cemburu? Terlalu sakit dan terlalu berat untuk bisa menerima. Kini kusadari, selama beberapa tahun mengenal Gio, ia tetap tidak pernah melihatku sebagai perempuan yang memiliki cinta. Ia lebih memilih untuk membersamai gadis remaja nan belia, cantik dan shalihah pula.

Duhai hati, jangan biarkan airmataku jatuh untuk seseorang yang tidak halal bagiku.

Senja akan segera berlalu. Cahayanya yang merah saga memantul melalui kaca jendela, membiaskan jingga pada semesta. Indah! Begitulah yang kurasakan setiap kali memandangnya. Namun, tetap saja gundah menyelimuti hatiku dan tak kunjung menepi. Kuusap lembut sudut mata yang kini meneteskan bening.

Catatan. Kuingat pada catatan yang tadi diberikan Gina padaku, juga pesan yang ditulis Gio untukku. Ketika hendak membukanya, Ibu datang dan menegurku.

“Kenapa melamun di sini, La? Baru pulang kenapa nggak langsung masuk?”

Aku menoleh ke arah ibu yang berdiri di pintu.

“Hm, aku hanya ingin menyaksikan senja, Bu. Sudah lama sekali aku tidak menikmatinya.”

“Kau yakin tidak apa-apa. Nak? Ibu perhatikan, seperti ada yang mengganggu pikiranmu. Apakah sesuatu yang buruk terjadi padamu hari ini?” Ibu bertanya cemas.

“Ah, tidak! Malahan hari ini aku senang sekali. Tadi aku ketemu seseorang, Bu. Dia temanku semasa kuliah. Tidak terlalu dekat sih, tapi aku kenal baik dengannya. Dulu dia orangnya cuek banget. Aku nggak nyangka aja, ternyata dia masih mengenaliku. Ibu tahu nggak? Dia masih seperti dulu.”

“Masih seperti dulu bagaimana? Ibu kan tidak mengenalinya.”

Aku tertegun, sendu itu kembali bergelayut di wajahku.

“Masih membuat hatiku berantakan.” Jawabku dengan wajah ditekuk.

“Jadi, temanmu itu laki-laki?” Tanya ibu dengan mata berbinar. “Lalu masalahnya di mana? Kenapa bisa membuat hatimu berantakan?”

“Ya, masalahnya, Shila menyukainya, Bu, dari dulu, dari pertama kali Shila bertemu dengannya.”

Aku menatap jauh ke depan, menatap langit yang semakin merah saga.

“Tidak ada yang salah dengan perasaanmu. Kau berhak merasakan itu. Sepertinya dia begitu istimewa, sampai kamu menyimpan perasaanmu itu begitu lama.”

“Tapi, aku tidak mungkin memilikinya. Dia tidak menyukaiku, apalagi ada gadis lain di kehidupannya. Aku bertemu mereka tadi. Mereka terlihat sangat dekat.”

“Dekat bukan berarti memiliki hubungan yang lebih. Bisa jadi gadis itu saudaranya, temannya, atau bahkan saudara kandungnya. Jangan terlalu cepat menyimpulkan apa yang tertangkap oleh matamu. Kamu harus selalu berpikiran positif dalam hal apapun. Kalau begini, kamu sendiri yang rugi, memikirkan sesuatu yang belum jelas kebenarannya.”

“Iya, Ibu benar. Harusnya aku bertanya tentang mereka. Toh, Gina pun bersikap manis padaku. Gadis itu menyenangkan.” Pandanganku menerawang jauh menembus bingkai langit. Aku tersentak ketika kurasakan ponselku bergetar.

Sudah kau baca pesanku?

Sebuah pesan singkat mendarat di sana. Pesan tanpa nama. Mataku beralih ke catatan yang belum jadi kubuka. Pesan yang ditulis Gio. Seketika, jantungku berdebar. Ada hangat mengalir bersama aliran darahku.

“Apakah ini bisa menjawab kegelisahanku?” hatiku berbisik.

Perlahan tanganku membuka lembaran pertama buku itu. Mataku memperhatikan seksama, membaca kata demi kata yang tertulis rapi di sana. Getar itu semakin berdenyar. Ada mimpi yang perlahan terkuak.

“Ibu…” Aku berujar lirih. Kuserahkan catatan itu ke tangan ibu. Ibu pun membaca dan tersenyum lembut pada.

Maaf, aku mencintaimu.

Kini, aku percaya bahwa selalu ada kesempatan untuk cinta.

Aku berjanji akan menjemputmu menjadi bidadariku, segera.

Semua terjawab sudah. Gelisah yang membawa resah. Tanya yang tak kunjung usai. Penantian yang tak jelas ujungnya. Harapan yang masih menjadi angan-angan. Dan, cinta yang selalu terjaga kehormatannya. Semua terasa benderang. Terjawab oleh sederet kata yang sederhana. Seperti sebuah mimpi yang menjelma di kehidupan nyataku. Kidung rindu pun kembali berdendang di sani, di hatiku yang telah menemukan pelabuhannya. Aku pun percaya kini, bahwa selalu ada kesempatan untuk cinta. Perihal Gina, bisa kutanyakan nanti.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun