Mohon tunggu...
Yulia Wulandari
Yulia Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka menyanyi dan berolahraga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Situs Penyebar Islam di Desa Kutaliman Makam Dalem Santri dan Makam Ibu Siti Saniyah

19 Desember 2022   12:00 Diperbarui: 19 Desember 2022   15:17 2856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari Sabtu tepatnya tanggal 3 Desember 2022, kami melakukan penelusuran jejak penyebar Islam di wilayah Kabupaten Banyumas. Salah satu situs pendakwah Islam yang keberadaannya masih terjaga hingga saat ini adalah makam Syekh Ahmad Al Muhammad, tempatnya lebih dikenal dengan sebutan "Makam Dalem Santri" yang berada di Desa Kutaliman, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas. 

Sebuah papan petunjuk bertuliskan MAKAM DALEM SANTRI terpampang di sebelah Utara Kantor Desa Kutaliman, cukup menjelaskan letak keberadaannya yang juga memudahkan bagi para peziarah. Berada sekitar 300 meter dari jalan utama desa, menuju makam ditempuh melalui jalan raya yang saat ini bisa dilalui kendaraan roda empat maupun dua. Medan yang telah dijelaskan semakin mendukung niatan untuk melakukan perjalanan menuju tempat tersebut. 

Sesampainya di komplek Makam Dalem Santri, suasana hening begitu terasa, tempat yang sunyi dan jauh dari pemukiman warga dirasa pas untuk sekedar menenangkan diri. 

Makam Dalem Santri dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang diyakini sudah berumur ratusan tahun, dengan tumpukan batu yang tertata rapi dan berlumut memberi kesan keramat yang menyatu dengan alam. Komplek makam dilengkapi sebuah pendopo kecil diperuntukan bagi peziarah yang hendak menyepi. 

Dari penuturan Ki Sarno yang paham akan sejarah Dalem Santri, menuturkan keberadaan beberapa makam yang ada disana. Selain makam Syekh Ahmad Al Muhammad juga ada makam guru dari Syekh Ahmad Al Muhammad yang bernama Syekh Mudhakir atau Eyang Kepadangan yang mana dulunya beliau merupakan pemimpin pesantren di daerah yang sekarang menjadi Makam Dalem Santri. 

Mengawali kisah yang melatarbelakangi keberadaan Makam Dalem Santri, konon Kyai Kepadangan merupakan guru dari Syekh Ahmad Muhammad yang berasal dari Baghdad, dengan nama asli Syekh Mudakhir. Beliau diutus oleh gurunya untuk datang ke daerah Hindia (sebelum Indonesia) tepatnya di Desa Kutaliman, karena didaerah tersebut masih banyak orang yang memeluk agama selain Islam, seperti menyembah batu besar, pohon, dan grujugan. 

Sesampainya di Kutaliman, beliau mendirikan pondok pesantren dengan jumlah santri 2-4 orang. Pada masa itu, jumlah santri 2-4 orang dianggap sudah banyak, mengingat masih sedikitnya warga di daerah tersebut. Setelah berdirinya pesantren tersebut, Belanda datang menjajah Indonesia yang dahulu bernama Hindia sehingga menjadi Hindia Belanda. 

Pada masa itu, terdapat beberapa kerajaan seperti kerajaan Majapahit dan kerajaan Solo. Pada kerajaan Solo, sang Raja memiliki putra bernama Raden Parto Kusumo yang mendapat mandat untuk meneruskan tahta di kerajaan tersebut. Namun, beliau menolak mandat tersebut dengan alasan kebencian beliau terhadap Belanda, selain itu beliau merasa bahwa ilmu yang dimiliki belum mumpuni, beliau tidak memiliki kesaktian, kewibawaan, serta ilmu tentang tata kerajaan. 

Berdasarkan alasan tersebut, beliau membulatkan tekadnya untuk menuntut ilmu terlebih dahulu dan alasan tersebut mendapat restu dari sang Raja bahkan Raja pun memberikan hadiah berupa seekor Gajah Putih sebagai tunggangannya.

Perjalanan dari kota Solo menuju Kabupaten Banyumas dilalui oleh Raden Parto Kusumo menggunakan Gajah Putih-nya selama beberapa hari. Pemberhentian awal beliau di Desa Kutaliman bukan pada pesantren yang sekarang menjadi Makam Dalem Santri, melainkan beliau berhenti di daerah dengan jarak 500 meter dari Makam Dalem Santri dan menetap di daerah tersebut yang sekarang terletak di utara Masjid Jami' Ar Rofi'iyyah. 

Tempat keberadaan Raden Parto Kusumo diketahui oleh Eyang Kepadangan atau Syekh Mudakhir yang pada saat itu sedang terjaga di depan pesantren melalui cahaya yang menyorot ke langit. Beliau mengetahui bahwasannya terdapat seorang kusuma (bangsawan) yang menetap tidak jauh dari pesantren dan beliau berencana mengutus santrinya untuk mendatangi orang tersebut dan mengundangnya untuk datang ke pesantren. 

Keesokan harinya, utusan dari sang kyai mendatangi Raden Parto Kusumo yang pada saat itu sedang memancing karena kehabisan bahan untuk memasak. Kemudian meraka menyampaikan pesan dari Eyang Kepadangan kepada beliau untuk datang ke pesantren. 

Ketika Raden Parto Kusumo datang ke pesantren dengan menunggangi Gajahnya, beliau terkejut ternyata Eyang Kepadangan mengetahui siapa beliau dan apa yang menyebabkan beliau hingga sampai didaerah ini. Kemudian, jejak dari Gajah yang ditunggangi oleh beliau saat ini menjadi wangan (sungai kecil) yang bernama wangan kotho, yang mana kotho disini memiliki arti lurus sebagaimana gajah Raden Parto Kusumo yang berjalan lurus tidak menengok ke kanan dan kiri.

Dalam perbincangan Eyang Kepadangan dan Raden Parto Kusumo, terdapat permintaan dari Eyang Kepadangan bahwasannya beliau bersedia mengangkat Raden Parto Kusumo sebagai murid dengan syarat mau menanggalkan gelar kebangsawanannya. Syarat itupun diterima oleh Raden Parto Kusumo, kemudian beliau berganti nama menjadi Syekh Ahmad Al'Muhammad. 

Dikarenakan sang gajah mengetahui Raden Parto Kusumo mendapat amanah dari Eyang Kepadangan, ia tidak mau ketinggalan dari junjungannya dibuktikan dengan keinginannya untuk menjelma menjadi manusia, sehingga selama 40 hari sang gajah tidak makan, minum maupun berdiri. 

Hal tersebut membuat santri-santri di pesantren mengira bahwa gajah tersebut mati, tetapi menurut Eyang Kepadangan gajah tersebut tidak mati, ia sedang memiliki keinginan untuk menjelma menjadi manusia namun tidak bisa karena sudah menjadi takdir Allah SWT gajah tersebut tetap menjadi hewan. Meskipun tidak menjadi manusia, gajah tersebut tetap dapat mengetahui isi pembicaraan maupun perintah dari manusia sekalipun ia tidak dapat berbicara. 

Setelah 40 hari gajah tidak makan, minum, maupun berdiri, akhirnya gajah mulai bangun dan berdiri, namun keberadaannya di pesantren justru membuat para santri menjadi jarang mengaji sehingga Eyang Kepadangan berinisiatif untuk menitipkan gajah tersebut di grumbul Desa Kutaliman atas yang bernama Babakan. 

Di daerah tersebut, gajah memilih untuk bertapa hingga si gajah pun akhirnya dapat mengerti bahasa manusia. Hingga saat ini, gajah tersebut menetap dan menjadi pusaka yang bernama Tombak Sakti Gajah Setho, yang artinya tombak sakti gajah putih dan tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Gupakan Gajah. 

Kisah berlanjut hingga akhirnya Eyang Kepadangan pun tutup usia. Namun, sebelum kepergiannya beliau sudah berpesan kepada Syekh Ahmad Al'Muhammad agar menyebarkan ajaran Islam di Banyumas. Sedangkan pesantren yang menjadi peninggalannya diberi nama Kutaliman yang berarti kuta yaitu kota dan liman yang berarti gajah, cerita tersebut termasuk ke dalam asal usul nama desa Kutaliman yang diceritakan oleh sesepuh di Kutaliman yaitu Ki Sarno.

Makam Dalem Santri sebenarnya sudah aktif dikunjungi oleh para peziarah sejak 15 tahun yang lalu, namun mulai sangat ramai dikunjungi hingga dikenal oleh peziarah dari luar kota dimulai sekitar 10 tahun yang lalu. 

Di tempat ini, tidak ada kegiatan lain selain keperluan berziarah sehingga dianggap sangat sakral. Dulunya terdapat masjid di dalamnya, namun dikarenakan banyak yang berbuat sembarangan di tempat tersebut akhirnya masjid tersebut dirobohkan. Tetapi, saat ini masjid tersebut sudah didirikan kembali dengan tiang penyangga, dan kebanyakan dimanfaatkan peziarah untuk melakukan peribadatan.

Pada saat ini, Makam Dalem Santri sangat aktif dikunjungi oleh para peziarah dari Banyumas dan bahkan dari luar kota. Selain makam Syekh Ahmad Al'Muhammad, terdapat empat makam lainnya yang berada disebelah Timur yang juga tidak pernah sepi dari peziarah. Dari informasi yang beredar, dipercaya dapat mendatangkan pengasihan, penglaris, dan sejenisnya. Namun, semua hanya sebagai syareatnya saja karena hakikatnya tetap kembali kepada Allah SWT. 

Mengingat Makam Dalem Santri merupakan tempat yang suci, ketika akan menilik sejarah makam tersebut hendaknya meminta izin terlebih dahulu dengan melakukan ziarah, sebagaimana para peneliti dalam hal ini sebelumnya sudah melakukan ziarah terlebih dahulu. 

Kemudian, dalam rangka menghormati kebiasaan yang sudah ada, Ki Sarno selaku sesepuh di Desa Kutaliman memaparkan aturan-aturan yang harus dilakukan ketika berziarah di Makam Dalem Santri, di antaranya :

Harus dalam keadaan suci dalam wudhu

Di dalam terdapat 2 pintu masuk, yang memiliki aturan masing-masing :

Pada pintu pertama mengucapkan salam secara lengkap. 

Pada pintu kedua mengucapkan salam secara lengkap sebanyak 3 kali dalam keadaan duduk bersimpuh. Hal tersebut didasari alasan dalam rangka menghormati Raden Parto Kusumo atau Syekh Ahmad Al Muhammad yang masih keturunan dari kerajaan.

Ketika selesai berdo'a, arah jalan keluar harus memutari area pemakaman sebanyak 3 kali disertai shalawat.

Aturan keluar dari area pemakaman dilakukan sebagaimana aturan ketika masuk pada pintu pertama maupun pintu kedua. 

Demikian aturan-aturan yang harus dihormati ketika akan melaksanakan ziarah di Makam Dalem Santri, hendaknya sebagai peziarah kita mengikuti aturan tersebut mengingat tempatnya yang diyakini sangat suci sehingga tidak dapat semena-mena ketika akan berbuat sesuatu. 

Selanjutnya peneliti melakukan penelusuran pada situs penyebar islam yang juga ada di Desa Kutaliman yaitu Makam Ibu Siti Saniyah. Makam ini terletak sekitar 200 meter dari Makam Dalem Santri, tepatnya di belakang pabrik cengkeh daerah Kutaliman dengan menelusuri jalan kecil. Jarak antara jalan raya dengan makam tersebut sekitar 100 meter dengan ditempuh menggunakan jalan kaki. Tidak banyak orang yang mengetahui keberadaan makam ini karena lokasinya yang memang terletak di medan hutan. Tetapi dengan medan tersebut, tidak menggoyahkan tekad peneliti untuk menelisik lebih jauh tentang Makam Ibu Siti Saniyah.

Sebelum menelisik sejarah tersebut, para peneliti juga melakukan ziarah terlebih dahulu dalam rangka meminta izin untuk mengangkat cerita ini. Ziarah ini dilakukan pada malam hari bersama warga setempat yang sudah rutin melakukan ziarah di makam tersebut. Hal inilah yang membuat peneliti semakin tertarik untuk mengikuti alur dari penelusuran sejarah dari Ibu Siti Saniyah. Dalam ziarah ini, ada beberapa hal yang dapat peneliti sampaikan ketika mengikuti ziarah terkait aturan, apa saja yang dilakukan sebelum ziarah, ketika ziarah, maupun sesudah ziarah :

1. Ketika berziarah harus dalam keadaan suci dari haid.

Sebelum berziarah, peneliti menuju titik kumpul di rumah warga untuk menunggu warga setempat.

Apabila warga sudah berkumpul, jamaah ziarah akan berangkat bersama dengan berjalan kaki melalui medan yang dipenuhi persawahan kemudian masuk ke hutan disertai dengan membaca sholawat sepanjang jalan. 

Ketika sampai di area luar pemakaman, jamaah diarahkan untuk membersihkan diri dan membasuh muka di pancuran yang ada di tempat tersebut.

Setelah bersuci, dilaksanakan do'a bersama untuk Ibu Siti Saniyah dan seluruh para penyebar Islam yang ada di Desa Kutaliman.

Setelah selesai berdo'a, kami pulang menuju kediaman warga dengan jalur yang berbeda dari keberangkatan.

Setelah melaksanakan ziarah, peneliti mendapatkan sejarah mengenai Ibu Siti Saniyah yang ternyata juga seorang pejuang agama di Desa Kutaliman. Awal mula beliau menjadi salah satu tokoh penyebar Islam di Desa Kutaliman yaitu, dahulu beliau seorang tentara wanita dan memiliki saudara perempuan bernama Siti Qomariyah. Beliau merupakan tokoh pendatang sekaligus pejuang yang menyebarkan islam melalui jalur kebudayaan Ronggeng. 

Alasan beliau menyebarkan islam melalui kebudayaan ronggeng yaitu dikarenakan pada saat itu kepercayaan yang diyakini masyarakat Desa Kutaliman masih mengikuti nenek moyang, selain itu dahulu Indonesia juga sedang dijajah oleh Belanda sehingga penyebaran agama islam sangat dikawal ketat pada masa itu.

Kebiasaan yang beliau bawa dalam kesehariannya yaitu menggunakan baju yang berwarna cerah seperti merah, kuning, hijau, yang mana pada masing-masing warna melambangkan filosofi tersendiri. Selain filosofi yang terdapat dalam baju yang dikenakan oleh Ibu Siti Saniyah, dalam kebudayaan ronggeng juga terdapat filosofi ketuhanan yang terdapat dalam alunan musik yang mengirinya yaitu neng nang ning nung gung, yang memiliki arti :

Neng : berdiri, sadar, semedi

Nang : menang (orang yang terpilih dalam amal perbuatan baiknya)

Ning : hening, khusuk

Nung : terpilih (mendapat anugrah)

Gung : Maha Agung

Rangkaian filosofi tersebut, merupakan tahapan dalam menjalankan ajaran agama islam untuk sampai pada Tuhan ; neng (syariatnya), ning (tarekatnya), nung (hakekatnya), dan nang (makrifatnya). Ujung dari keempat tahap ini yaitu kodrat yang berarti ajaran yang membawa ke dalam keselamatan, Apabila masyarakat menelisik lebih jauh terkait kebudayaan yang dibawa oleh Ibu Siti Saniyah, sebenarnya memiliki tujuan yang sangat mulia, namun seringkali kebudayaan tersebut dipandang menjadi sisi negatif padahal pada dasarnya mempunyai filosofi ketuhanan yang sangat luar biasa. 

Melalui penelitian situs-situs islam yang ada di Desa Kutaliman yang sebenarnya masih sangat banyak selain dua yang peneliti ambil, dapat diambil beberapa pelajaran yang bisa diterapkan ketika nantinya akan melaksanakan ziarah di manapun situs-situs islam berada, di antaranya yaitu :

Niat. Ketika berziarah dimana saja, niatkan untuk Allah Ta'ala, bukan untuk yang lainnya,

Setiap perbuatan ada konsekuensinya sehingga ketika akan melakukan sesuatu baik lisan maupun perbuatan hendaknya berhati-hati, lebih baik fokus dengan berdo'a.

Ketika akan mengulik sebuah sejarah islam dari situs islam, ziarah inilah yang menjembatani untuk memohon izin. Segala sesuatu harus didasari dengan etika agar nantinya proses penelusuran berjalan lancar

Penelusuran disertai dengan adanya ziarah akan semakin menumbuhkan rasa lebih dekat dengan tokoh yang diziarahi meskipun tidak mengenalnya.

Menambah wawasan terkait situs-situs islam yang sudah ada sekaligus yang belum terungkap

Penelusuran membuat peneliti paham bahwasannya karakteristik penyebaran islam dimana saja bisa berbeda tetapi tujuannya tetap satu yaitu mengajarkan mengenai ketuhanan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun