Pada hari Sabtu tepatnya tanggal 3 Desember 2022, kami melakukan penelusuran jejak penyebar Islam di wilayah Kabupaten Banyumas. Salah satu situs pendakwah Islam yang keberadaannya masih terjaga hingga saat ini adalah makam Syekh Ahmad Al Muhammad, tempatnya lebih dikenal dengan sebutan "Makam Dalem Santri" yang berada di Desa Kutaliman, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas.Â
Sebuah papan petunjuk bertuliskan MAKAM DALEM SANTRI terpampang di sebelah Utara Kantor Desa Kutaliman, cukup menjelaskan letak keberadaannya yang juga memudahkan bagi para peziarah. Berada sekitar 300 meter dari jalan utama desa, menuju makam ditempuh melalui jalan raya yang saat ini bisa dilalui kendaraan roda empat maupun dua. Medan yang telah dijelaskan semakin mendukung niatan untuk melakukan perjalanan menuju tempat tersebut.Â
Sesampainya di komplek Makam Dalem Santri, suasana hening begitu terasa, tempat yang sunyi dan jauh dari pemukiman warga dirasa pas untuk sekedar menenangkan diri.Â
Makam Dalem Santri dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang diyakini sudah berumur ratusan tahun, dengan tumpukan batu yang tertata rapi dan berlumut memberi kesan keramat yang menyatu dengan alam. Komplek makam dilengkapi sebuah pendopo kecil diperuntukan bagi peziarah yang hendak menyepi.Â
Dari penuturan Ki Sarno yang paham akan sejarah Dalem Santri, menuturkan keberadaan beberapa makam yang ada disana. Selain makam Syekh Ahmad Al Muhammad juga ada makam guru dari Syekh Ahmad Al Muhammad yang bernama Syekh Mudhakir atau Eyang Kepadangan yang mana dulunya beliau merupakan pemimpin pesantren di daerah yang sekarang menjadi Makam Dalem Santri.Â
Mengawali kisah yang melatarbelakangi keberadaan Makam Dalem Santri, konon Kyai Kepadangan merupakan guru dari Syekh Ahmad Muhammad yang berasal dari Baghdad, dengan nama asli Syekh Mudakhir. Beliau diutus oleh gurunya untuk datang ke daerah Hindia (sebelum Indonesia) tepatnya di Desa Kutaliman, karena didaerah tersebut masih banyak orang yang memeluk agama selain Islam, seperti menyembah batu besar, pohon, dan grujugan.Â
Sesampainya di Kutaliman, beliau mendirikan pondok pesantren dengan jumlah santri 2-4 orang. Pada masa itu, jumlah santri 2-4 orang dianggap sudah banyak, mengingat masih sedikitnya warga di daerah tersebut. Setelah berdirinya pesantren tersebut, Belanda datang menjajah Indonesia yang dahulu bernama Hindia sehingga menjadi Hindia Belanda.Â
Pada masa itu, terdapat beberapa kerajaan seperti kerajaan Majapahit dan kerajaan Solo. Pada kerajaan Solo, sang Raja memiliki putra bernama Raden Parto Kusumo yang mendapat mandat untuk meneruskan tahta di kerajaan tersebut. Namun, beliau menolak mandat tersebut dengan alasan kebencian beliau terhadap Belanda, selain itu beliau merasa bahwa ilmu yang dimiliki belum mumpuni, beliau tidak memiliki kesaktian, kewibawaan, serta ilmu tentang tata kerajaan.Â
Berdasarkan alasan tersebut, beliau membulatkan tekadnya untuk menuntut ilmu terlebih dahulu dan alasan tersebut mendapat restu dari sang Raja bahkan Raja pun memberikan hadiah berupa seekor Gajah Putih sebagai tunggangannya.
Perjalanan dari kota Solo menuju Kabupaten Banyumas dilalui oleh Raden Parto Kusumo menggunakan Gajah Putih-nya selama beberapa hari. Pemberhentian awal beliau di Desa Kutaliman bukan pada pesantren yang sekarang menjadi Makam Dalem Santri, melainkan beliau berhenti di daerah dengan jarak 500 meter dari Makam Dalem Santri dan menetap di daerah tersebut yang sekarang terletak di utara Masjid Jami' Ar Rofi'iyyah.Â
Tempat keberadaan Raden Parto Kusumo diketahui oleh Eyang Kepadangan atau Syekh Mudakhir yang pada saat itu sedang terjaga di depan pesantren melalui cahaya yang menyorot ke langit. Beliau mengetahui bahwasannya terdapat seorang kusuma (bangsawan) yang menetap tidak jauh dari pesantren dan beliau berencana mengutus santrinya untuk mendatangi orang tersebut dan mengundangnya untuk datang ke pesantren.Â