Mohon tunggu...
Fransisca Yuliyani
Fransisca Yuliyani Mohon Tunggu... Penulis - Seorang pecinta bunga matahari | Gratitude Practitioner

Menulis untuk meninggalkan jejak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Pintu

4 Januari 2023   21:18 Diperbarui: 4 Januari 2023   21:22 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar: Istock)

Ningsih:

Aku bersiap tidur malam itu saat petikan gitar yang sumbang terdengar. Aku berdecak dan menutup kedua telinga dengan bantal. Namun, itu tak cukup mampu meredam bunyi di kedua telingaku. Dokter mengatakan kalau aku mengidap Tinnitus.  Ya, itu adalah sebuah keadaan ketika satu atau dua telingamu berdenging atau berdengung. Dalam kasusku, kedua telinga berdenging seperti ceret yang airnya sudah matang. Tapi, denging di telinga kananku lebih kencang. Lain halnya dengan telinga kiri yang lebih lembut bunyinya. Meski begitu, aku hanya bisa mendengarnya saat keadaan sekitarku sunyi.

Kupikir hal itu tidak berlangsung lama dan akan kembali normal seperti sebelumnya. Tapi, bunyi ini seperti betah berdiam dan menemani tiap hariku. Padahal seingatku tidak ada hal krusial yang mungkin jadi penyebab bunyi di telingaku. Seperti jatuh dari ketinggian atau hal ekstrim lain yang menyebabkan telingaku sakit.

Awalnya aku begitu tersiksa dengan bunyi yang aneh di telingaku. Tapi sekarang aku mulai terbiasa. Apalagi aku beruntung karena denging ini tidak disertai pusing atau vertigo seperti  para pengidap lain.

Namun, hari ini semua terasa berbeda. Dengingnya bertambah kencang hingga aku bisa mendengarnya di keramaian. Aku tidak bisa memastikan berapa kekuatan bunyinya, tapi hal ini sungguh menyiksa. Ditambah seperti ada suara detak jantung yang menghambat di dalam sana. Kupikir karena aliran darahnya tidak lancar jadi membuat bagian telinga, kepala hingga leher kanan terasa kaku dan penuh. Belum lagi kalau aku berjalan atau beraktivitas ringan hingga berat. Rasanya sangat tidak nyaman. Kalau sudah begini, aku hanya ingin suasana tenang agar bisa beristirahat. Aku tak mau mengkonsumsi obat tidur karena takut jadi kebiasaan. 

Ke dokter THT lagi kalian bilang?

Ah, aku sudah malas berurusan dengan dokter. Pasti bilangnya 'nanti sembuh'. Lagipula biaya berobatnya pasti mahal dan mana aku sanggup membayarnya. Gaji seorang kasir di minimarket tentu tak akan pernah cukup untuk memenuhi semua. Mungkin hal ini juga yang membuatku jadi sahabat akrab tinnitus. Oh, dan menurut satu teman di grup yang sudah berobat di dokter di rumah sakit swasta, Tinnitus tidak bisa sembuh. Kita hanya bisa mengecilkan dengingnya. Nah kan, jadi yang bisa kulakukan hanya berpasrah diri sambil tetap menjaga kesehatan mental agar tidak cemas berlebihan.

Kembali ke suara sumbang gitar. Aku mendesah sebal. Siapa lagi kalau bukan Joko yang malam-malam begini nyari inspirasi buat lagunya? Padahal aku sudah sering memberinya pengertian. Awalnya Joko mendengarkanku, tapi selang dua minggu dia pasti berulah lagi.

Kesal, aku menyibak selimut dan berjalan ke dapur. Aku mengambil panci dan mengisinya dengan air. Minum segelas teh biasanya membantuku tenang.

Petikan gitar masih terdengar samar, tak sekencang saat aku di kamar tidur. Aku menghembuskan napas lega, tapi itu tak lama saat suara lain yang sedang berbicara di telepon menghentikan kegiatanku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun