Panasnya matahari yang menyengat tak mampu membiaskan warna merah di balairung istana siang itu, sebaliknya suasana terasa gelap mencekam. Udara terasa berat dan awan mendung terasa menggulung langit kerajaan Majapahit dikarenakan sumpah mengerikan Sang Maha Patih Gajah Mada. Betapa tidak, Sang Patih bersumpah disaksikan langit, Sang Prabu dan jajaran pemerintahan serta ribuan pasang mata milik rakyat kerajaan legendaris itu untuk hidup dalam puasa dan keprihatinan tak berkesudahan. Tak ada sesuatu pun yang mampu membebaskan dirinya dari sumpah itu kecuali oleh satu keadaan; bersatunya jajaran wilayah di nusantara di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Tak pelak, mereka yang ada pun terdiam. Keringat dingin bercucuran merasakan hebatnya keadaan yang akan ditulis dalam sejarah bahkan ratusan tahun setelah hari itu.
Sejarah pun kemudian mencatatnya. Melalui kecerdasan, strategi, intrik politik bahkan kontroversi, Sang Patih hampir saja mampu mewujudkan sumpahnya itu. Pada suatu hari, sang patih melakukan kesalahan fatal yang mencoreng muka Sang Prabu dan nama kerajaan. Sejak itu Sang patih menghilang secara misterius dan tak tercatat lagi namanya dalam sejarah. Konon cerita, dia moksa menjadi angin.
Sumpah adalah sebuah janji, sesuatu yang harus ditepati. Bahkan dalam kajian sebuah agama, janji adalah hutang yang akan dibawa mati dan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta Kehidupan. Sumpah adalah sebuah kalimat yang melahirkan sebuah perbuatan untuk memenuhinya. Dia bersifat mengikat dan hanya dapat terbebaskan dalam kondisi-kondisi yang telah disepakati bersama. Sesuatu yang besar, sesuatu yang menentukan harga atas diri kita.
Dan sumpah adalah sebuah kata.
Seperti produk kebudayaan lainnya, sumpah kemudian memiliki padanan kata. Kita bisa menemukan kata janji, komitment atau understanding di dalam keseharian. Dan setiap kata memiliki nilai konotatif yang berbeda-beda. Lambat laut diksi sumpah lebih banyak ditemukan dalam dongeng, legenda dan epos. Jarang sekali ditemukan kata itu dalam kontek kehidupan modern. Akibatnya muncul perspektif bahwa sumpah hanyalah sebuah dongeng dan seperti halnya dongeng, dia gampang diucapkan, bersifat menghibur dan kebanyakan hanya digunakan sebagai cerita penghantar tidur. Sesuatu yang esok hari bisa dengan mudah dilupakan.
Sekarang, kata yang lebih mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari adalah janji. Dalam dunia bisnis, kata itu berubah menjadi perjanjian setelah teraffikisasi. Dengan diadopsi dari bahasa asing muncullah kata komitment, undestanding dan yang lainnya yang masuk ke dalam ragam bahasa informal. Itu belum termasuk ragam bahasa slank yang terus berkembang dan berbeda di setiap komunitas. Begitu banyak akar, begitu jauh dari sumber batang kata itu sendiri yang pada akhirnya membiaskan makna yang sebenarnya.
Dalam kenyataannya, kata janji adalah yang paling umum digunakan dalam kehidupan saat ini. Dalam ilmu marketing, janji adalah senjata nomer wahid. Janji digunakan untuk menarik calon pelanggan agar memakai produk mereka, apapun produk mereka itu. Dengan menyerang basic psikologis manusia, janji membuat calon pelanggan itu melambung dalam angan-angan atau setidaknya terdiam berpikir ulang. Tapi dunia marketing adalah dunia berjualan. Tujuan mereka adalah menjual produk mereka dan janji hanyalah sebuah senjata. Dan sebagai senjata, ia tidak bermata. Ia hanya mengikuti apa kemauan si tuannya termasuk di dalamnya adalah untuk menipu.
Janji adalah kalimat yang melahirkan usaha untuk memenuhinya, dalam beberapa kejadian digunakan untuk memberikan sensasi tenang sebuah pihak, yang bisa dipatahkan apabila si subjek tidak mampu atau tidak mau memenuhinya tanpa harus meminta objek untuk membebaskannya. Dalam komperasinya, sumpah adalah wajib dan janji adalah sunah.
Oleh karena itulah seseorang cenderung menolak untuk bersumpah dan lebih memilih untuk berjanji. Sesuatu di dalam dirinya mengetahui bahwa janji lebih ringan sedang sumpah terdengar klise, tidak gaul dan satu hal lagi, karena dia tahu sumpah itu harus dipertanggungjawabkan pada Yang Mengakhiri.
Juliet mati dengan mulut berbusa dan wajah membiru. Gajah Mada, dibawah panji Majapahit yang bekibar-kibar terlihat kurus. Api di matanya yang menyala bukan untuk kesenangan dunia, dia sudah lama lupa pada nikmatnya rasa itu. Motivasi apa yang membuat mereka melakukan hal gila seperti itu? Banyak teori yang berusaha menjelaskan hal itu, dari kebodohan hingga heroisme namun tak ada satupun jawaban yang memuaskan. Satu hal yang pasti adalah mereka melakukan semua itu dimulai dari sebuah susunan kata yang membentuk kalimat yang kita sebut sebagai sumpah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H