Mohon tunggu...
Yuli Setiawan
Yuli Setiawan Mohon Tunggu... -

(kosong untuk sementara)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ashar dan Petani Desa

31 Agustus 2012   02:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:06 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Para petani di desa kami memiliki sebuah kebiasaan. Selesai menggarap sawah mereka mandi di kali yang tidak terlalu deras arusnya. Warnanya pun sebenarnya sudah tidak lagi jernih. Mungkin beberapa ratus meter sebelumnya sekumpulan kerbau buang kotoran kali itu. Toh, mereka tetap khusuk melakukannya. Selepas mandi mereka mengenakan kain sarung yang mungkin adalah kain satu-satunya yang bersih yang mereka bawa. Mereka melipatnya di atas pusar dan menutupi lutut. Di atas batu besar dan tubuh tak berbaju mereka menghadap kiblat di barat. Tangan mereka angkat 'Allah Hu Akbar,” bisik mereka. Takbilatur Ikram, mereka melakukan shalat Ashar.

Saat itu waktu menunjukan pukul setengah lima.

Para petani itu, mereka tidak kenal Susno Duaji juga Sri Mulyani. Paling-paling mereka akan berdoa, “ Ya Gusti Allah, muga-muga panen tahun ini berhasil hingga inyong bisa mengawinkan si Cempluk, “ di akhir shalat mereka. Mereka tidak hebat; mereka ndeso, mlarat, bau lumpur dan kulit dekil terbakar matahari. Jatah kita beli pulsa buat telfon pacar yang jauh dan entah setia atau tidak itu bisa untuk makan mereka selama dua minggu. Sungguh mereka miskin hingga tak mampu beli baju untuk shalat. Baju yang mereka punya adalah baju dinas mereka mecul di sawah. Warnanya kumal seperti kain pel dan lobangnya lebih dari empat digrigiti tikus. Tapi toh mereka masih bergembira hati karena setidaknya mereka masih punya satu kain sarung yang layak digunakan untuk berbakti pada Gusti Allah mereka.

Di dunia di mana pilem bokep dibajak ramai-ramai dan gelut politik menjadi pertandingan yang lebih seru dari Mike Tyson, kesederhanaan itu ternyata masih ada. Namun keserhanaan bukanlah hal yang sepele. Kesederhanaan sering kali lebih dekat dengan efisiensi juga efektifitas. Kesederhanaan juga lebih dekat dengan kemurnian. Seorang sastrawan Indonesia yang gelisah menulis ,”Dalam kesederhanaan-Mu, tamu-Mu pun jatuh menangis.” Baginya Tuhan tidak hanya bersemayam dalam kebesaran tapi juga dalam kesederhanaan.

Ritual shalat yang begitu anggun pun pada intinya adalah sebuah dzikir. Dan dzikir adalah mengingat. Semar yang buruk rupa dan tidak jelas jenis kelaminnya itu begitu dihormati para dewa karena dia lebih memilih nyepi ing rame. Werkudara yang bringas dan liar pun menemukan kearifan tertinggi bukan dari rahasia tirta nirmala tapi justru pada saat dia bisa bertemu inti pribadinya. Maka “Tuhan, dalam termangu ku masih menyebut nama-Mu,” bisik Chairil Anwar suatu ketika, “biar susah sungguh mengingat engkau penuh seluruh.”

Di sisi lain kali itu, aku dan teman-temanku duduk mancing. Bagiku pemandangan itu benar-benar menyentuh. Ada sreset rasa indah terselip. Setelah menyatukan kening dan ujung hidung di atas batu besar yang berfungsi sebagai sajadah, para petani itu duduk bersimpuh. Lekuk otot mereka tersiluet sinar matahari sore yang sebentar lagi tenggelam. Kuning dan keemasan terpijar dari sisa air wudhu yang masih menetes dari wajah mereka. Dalam kesederhanaan pribadi dan tubuh yang letih para petani itu, kulihat Tuhan menari bersama mereka.

Jari mereka menunjuk kiblat dan kemudian wajah mereka berpaling salam, “Assalamu'allaikum … “

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun