Terjadi banyak perubahan dalam pembelajaran terutama di kelas akhir (saya memegang kelas sembilan).Â
Guru lebih bisa mengembangkan berbagai metode pembelajaran yang menyenangkan. Kami tidak lagi dikejar-kejar waktu untuk segera menghabiskan materi. Kecepatan pembelajaran dijalankan sesuai dengan  kemampuan dan gaya belajar siswa.
Berbagai ice breaking bisa dilaksanakan. Yang penting siswa senang dan pelajaran bisa masuk dalam benak siswa.
Tidak ada lagi bimbel yang memaksa kami mengajar pagi-pagi benar atau memberi tambahan pelajaran pada siswa yang kurang. Akhir tahun pelajaran terasa lebih 'ringan' daripada semasa ada UN.
Tapi apa hal lain yang timbul?
Siswa menjadi lebih 'santai'. Tidak ada lagi semangat yang begitu tinggi untuk menguasai materi atau mendapatkan nilai yang tertinggi. Â Alat ukur yang dipakai masing masing guru tidak sama meski kami sudah berusaha menyamakan lewat MGMP.
Motivasi yang rendah, membuat banyak siswa malas untuk  menghafal  bahkan untuk materi yang sederhana. Tidak ada 'greget'.  Tidak semua siswa seperti itu memang, tapi jumlahnya cukup banyak.
Sebagai pengajar kelas sembilan saya sangat prihatin menghadapi kenyataan bahwa siswa saya masih banyak yang tidak hafal perkalian 1-100. Kemampuan hitung dan matematika anak-anak sangat merosot. Dan hal ini ternyata juga terjadi pada mata pelajaran yang lain.
Suatu saat saya terlibat diskusi dengan guru IPA. Dengan gemas  teman saya yang sedang membahas materi hukum Coloumb ini bercerita bahwa anak-anak sulit sekali melakukan hitungan padahal rumus sudah disediakan dan angka tinggal memasukkan.
Duh, bagaimana mungkin bisa mereka menggunakan rumus tersebut jika perkalian sederhana saja tidak bisa, pikir saya.