Ratri merapikan kerudungnya di depan cermin. Kerudung merah hati yang kontras dengan warna kulitnya membuat wajahnya tampak demikian  cerah, namun tidak hatinya. Hari pertama Idul Fitri selalu menjadi beban baginya.
Lebaran harusnya membawa kebahagiaan. Lihatlah keceriaan si kecil Suzan, anak semata wayangnya yang baru berumur empat tahun.Â
Jalan ke sana kemari dengan mengenakan busana muslim warna pink. Sangat menggemaskan. Ditambah dengan celotehnya yang tiada henti sambil berkali-kali keluar masuk untuk mengambil kue lebaran. Mulutnya yang penuh kue lebaran membuat pipinya yang gembil semakin gembil.
"Sudah siap?" Zulfi , suaminya mengingatkan Ratri. Rupanya ia sudah terlalu lama berdiri di depan cermin.
Ratri mengangguk segan. Zulfi tersenyum sabar. Ia paham sekali , istrinya selalu merasa terbebani jika diajak silaturahmi keluarga besar di hari Lebaran.
"Ayo, senyum," goda Zulfi. Sementara yang digoda hanya diam.
"Aku merasa tidak nyaman, Mas.. , males aku..," kata Ratri sambil kembali duduk di kursi depan. Matanya mulai berkaca-kaca.
Zulfi kembali tersenyum. "Ayolah... Cuma setahun sekali.. risau karena pertanyaan pertanyaan itu?" tanya ZulfiÂ
Ratri mengangguk. Sungguh yang membuatnya segan datang ke pertemuan keluarga saat Lebaran adalah sepertinya pertemuan itu menjadi ajang pamer keberhasilan.
 Tentang anak Pakde Bimo yang sukses di Jakarta dan sering kirim uang ke orang tuanya, tentang anak Bude Marmi yang kerja di Amerika, ataupun anak Bulik Siti yang jadi dokter.Â