Suasana jalan tidak begitu ramai pagi itu. Jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh. Berempat kami naik sepeda motor berputar-putar sekitar kota Malang.
Sehari menjelang Ramadhan adik saya dan keluarganya datang ke Malang. Di samping ada agenda mengunjungi teman -temannya, yang tak kalah penting adalah nyekar ke makam ibuk dan bapak.
Kami berboncengan dua-dua. Jalan Kawi yang biasanya dipadati kendaraan tampak sepi. Sepeda motor kami melaju bebas, dan Kajoetangan menjadi tujuan utamanya.
Di dekat jembatan penyeberangan Kajoetangan sepeda motor kami parkir, dan kami berjalan sepanjang trotoar.
Suasana tak begitu ramai. Tentu saja. Hari itu bertepatan dengan hari raya Nyepi dan besoknya awal Ramadhan.
Sepagi itu tentunya masih banyak yang beristirahat di rumah.
Udara terasa begitu segar. Matahari bersinar lembut. Kami berjalan sambil mengamati toko-toko di sepanjang Kajoetangan.
Lama sekali tidak merasakan hawa Kajoetangan bersama adik. Padahal Kajoetangan menyimpan ribuan kenangan bagi kami.
Kami pernah tinggal di daerah Kajoetangan sekitar tahun 1990 selama dua tahun. Jadi daerah daerah kampung Kajoetangan juga toko-toko yang berderet di sepanjang jalan terasa begitu akrab bagi kami.
Tentunya banyak yang berubah. Seperti Rajabally yang dulu menjadi ikon Kajoetangan sekarang berubah menjadi Cafe Lafayette. Beberapa toko beralih usaha. Sepertinya cafe atau usaha kuliner semakin banyak.
Kajoetangan semakin cantik. Dengan pembenahan di sana-sini kawasan ini menjadi tempat yang asyik untuk berfoto ria. Bahkan sering dipakai sebagai lokasi foto prewedding oleh pasangan yang akan menikah.
Bangku-bangku dan lampu taman yang berjejer berpadu dengan kedai kopi atau tempat berjualan makanan ditata dengan apik sehingga suasana heritage semakin terasa.
Mengapa daerah ini dinamakan Kajoetangan?
Kawasan ini sebelumnya bernama Jl. Jend Basuki Rachmat. Lalu dikembalikan lagi ke nama Kajoetangan seiring pembangunan Kajoetangan sebagai tempat wisata heritage.
Ada empat versi alasan yang membuat daerah ini dinamakan Kajoetangan. Alasan tersebut adalah:
Pertama : karena sebelum tahun 1914 terdapat petunjuk lalu lintas berbentuk telapak tangan dan terbuat dari kayu. Petunjuk tersebut berada disebelah timur pertigaan Jalan Oro-Oro Dowo dan  Kajoetangan.
Kedua :Â dulu di kawasan ini banyak pohon berderet di sepanjang jalan yang menyerupai deretan tubuh manusia. Tangkai pepohonan seakan tangan yang menjulur ke arah jalan.
Ketiga: Â karena terdapat pohon yang menyerupai tangan di ujung jalan menuju arah Alun-Alun. Ketika itu kawasan Alun-Alun Jalan Merdeka mulai berkembang.
Keempat: Â menurut keterangan warga asli setempat, Â sewaktu ia masih kecil, jalan-jalan di kawasan ini banyak ditanami pohon yang daunnya berbentuk aneh. Daun mirip telapak tangan yang mengembang.
Bahwa kayu tangan adalah nama tanaman, ternyata  disebutkan di dalam buku botani ilmiah berbahasa Belanda berjudul Nieuw Plantkundig Woordenboek voor Nederlandsch Indi.
Dalam buku tersebut diterangkan bahwa tanaman "kayu tangan" memiliki nama ilmiah Euphorbia Tirucalli L.
Disebutkan pula bahwa masyarakat Jawa menamakan tanaman ini dengan kayu tangan dikarenakan ketika tanaman ini tumbuh bentuknya mirip dengan tangan.
Berempat kami berfoto di sepanjang jalan Kajoetangan. Hawa yang sejuk dan sangat bersahabat membuat kegiatan jalan-jalan tak terasa melelahkan. Hanya sayang pagi itu tidak ada konser musik seperti yang kami harapkan.
Ya, Kajoetangan adalah salah satu tempat warga Malang berekspresi seni. Karenanya di salah satu bagian Kajoetangan terdapat jadwal perform berbagai kelompok musik Malang.
Tampak pada jadwal pada hari biasa perform grup musik dilakukan pukul 18.00-21.00 di hari Senin-Jum at , dan pukul 06.00-09.00 serta 18.00-21.00 di hari Sabtu dan Minggu.  Pada bulan Ramadhan perform  dilakukan pukul 15.00-18.00 dari hari Senin sampai Minggu.
Matahari semakin naik. Ketika jam menunjukkan sekitar pukul setengah sepuluh jalan- jalan pun diakhiri.
Kami segera menuju parkiran mengambil sepeda. Lalu-lalang kendaraan mulai banyak. Kajoetangan terus berbenah. Perubahan terjadi di mana-mana. Pada kampung-kampungnya, toko-tokonya, Â juga manusianya.
Ya, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada yang tidak berubah, selain dari perubahan itu sendiri.
Referensi: Terakota.id