"Kosong , minyak tidak ada..," Mas Parjo meletakkan kunci sepedanya di meja kecil dekat dapur. Setengah dilempar. Wajahnya yang kusut tampak begitu gemas. Hari ini ada empat toko didatanginya. Tapi semua mengatakan minyak lagi kosong.
Mbak Mimin menghentikan pekerjaannya. Hari ini ada lima puluh buah tahu isi yang harus diselesaikan untuk acara diba'an habis maghrib, dan itu cukup meresahkannya. Bagaimana tidak? Semua itu butuh minyak goreng, sementara persediaannya lagi habis.
Qiroah di langgar sudah dikumandangkan, tanda waktu sudah berada di kisaran pukul tiga.
Mbak Mimin menghentikan pekerjaannya mengisikan sayuran ke dalam tahu.
"Diin, bantu ibuk sebentar.., " katanya sambil mencuci tangan. Bergegas Dini anak semata wayangnya keluar kamar menggantikan ibuknya.
"Lanjutkan ya Nduk? Jangan ganggu bapakmu, biar ngaso.., " bisiknya.
Secangkir kopi disiapkan di meja tengah, dan Mbak Mimin segera mengambil sepeda motor untuk keluar sebentar.
Sementara itu, Mas Parjo suaminya masih diam sambil menatap asap rokok yang bergulung-gulung di hadapannya. Ruwet, bagai masalah hidupnya akhir-akhir ini.
Sudah tiga tahun ini Mbak Mimin menekuni usaha sebagai penjual gorengan.
Sebuah usaha yang murah meriah dan mlintu kata orang Jawa. Ya, gorengan adalah makanan favorit, jadi yang beli selalu ada.
Bahkan di masa pandemipun usaha gorengan tak tergoyahkan. Apalagi ditambahi dengan jualan aneka bothok dan nasi jagung.
Nasi jagung dengan urap, ikan asin, sayur tewel dan sedikit sambal adalah primadona di warung Mbak Mimin. Dan itu juga mengatrol penjualan gorengan di warungnya. Bukankah makan nasi jagung ditambah mendol atau menjes goreng rasanya makin maknyus?
Berkat usaha gorengan masalah ekonomi keluarga Mbak Mimin sedikit teratasi. Lebih-lebih saat ojek Mas Parjo agak sepi gara-gara anak sekolah masih harus belajar di rumah.
Paling tidak Mbak Mimin tidak tiap hari 'nyadhong' untuk uang belanja. Selagi ada uang hasil jualan, Mbak Mimin akan belanja sendiri.