PPKM diperpanjang? 'Mateng' aku..! "desis Mbak Wiwik gemas. Dimatikannya HP yang sejak tadi dipakai browsing untuk mencari kabar terkini dari pandemi ini.
"Pedagang rujak di Kampung Manggis ini benar- benar terpukul. Gara-gara PPKM omzet rujaknya menurun drastis.  Jika sebelum PPKM ia bisa menjual dua puluh sampai dua puluh lima porsi rujak per hari,  di masa PPKM jangankan  sepuluh, lima porsi saja sudah bagus.  Akibatnya sisa dagangan akan di rujak sendiri untuk dimakan,  atau diantar ke tetangga sebelah.
"Buk, Â bosan, Â tiap hari makan rujak terus.., " protes Dio anak semata wayangnya.
"Wes, Â tidak boleh pilih-pilih.. Â Sudah bisa makan tiga kali sehari sudah bagus, " jawab ibuknya jengkel. Â Dio makan dengan wajah bersungut sungut.
Mbak Wiwik menghela nafas panjang. Bagaiman tidak jengkel? Rujaknya sepi, Â suaminya yang bekerja sebagai ojol apalagi. Â Padahal makan tidak boleh telat . Duuh mudah-mudahan kondisi semakin membaik, sehingga PPKM dihentikan.
Derum sepeda motor masuk halaman depan. Â Mbak Wiwik segera membukakan pintu. Â Jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam.
Mas Joyo masuk rumah dengan wajah lesu. Â Tanpa banyak tanya Mbak Wiwik segera menghidangkan kopi yang sejak tadi sudah disiapkan di meja makan.Â
"Sepi lagi ya Mas? " tanya Mbak Wiwik. Suaminya tidak menjawab. Â Tapi keresahan wajahnya sudah cukup menerangkan semuanya.
Mbak Wiwik segera masuk. "Dio,  sinau..  Jangan ngegame terus saja, " katanya  pada Dio yang sedang asyik dengan hpnya.  Melihat suasana yang kurang kondusif, Dio segera beranjak menuju kamar.
Pagi ini seperti biasanya Mbak Wiwik sudah sibuk di warungnya. Â Rencananya hari ini mau tambah kulakan, Â berhubung PPKM diperpanjang niat itu dibatalkan.Â
Duh... Â Sampai kapan begini terus, Â pikirnya. Â Tangannya sibuk membolak- balik gorengan.
"Aku berangkat ya.., " kata suaminya berpamitan
"Ati-ati, Â Mas, " sahut Mbak Wiwik..
"Pak, mudah- mudahan rezekinya banyak ya.. Paketanku mau habis, " kata Dio sambil mencium tangan bapaknya.
Mas Joyo mengangguk lalu segera menghidupkan mesin sepeda motornya meninggalkan rumah.Â
Hari sudah hampir Duhur, Â sampai sesiang ini hanya tiga bungkus rujak yang terjual.Â
"Mbak Wiwik, Â beli rujak, " sebuah teriakan membuyarkan lamunan Mbak Wiwik.Â
"Oh, Â Yu Parti," kata Mbak Wiwik sambil bergegas menuju meja yang diatasnya terdapat cobek besar.
"Seperti biasa? " katanya.
"Pedesnya ditambahi.. Â Ngelu aku.., " sahut Yu Parti.
"Mikir apa..., " goda Mbak Wiwik sambil mulai meracik bumbu.
"PPKM ditambahi lagi.. Â Libur lagi bapaknya anak-anak.., " desis Yu Parti.
Mbak Wiwik tersenyum kecut. Â Mau komentar apa. Lha wong sama pusingnya.
"Nuwun sewu,  Mbak Wiwik,  badhe pesen rujak.., " tiba-tiba saja seorang laki-laki masuk ke warungnya.  Penampilannya jauh lebih gagah meski usianya sama dengan Mas Joyo. Ditambahi  kacamata hitam tampilannya begitu perlente.Â
"Oh, inggih Mas, pedes? "
"Cukupan saja, Â " jawab laki-laki itu singkat.
Yu Parti ikut tersita perhatiannya.Â
"Sebentar ya Mas, Â pesan berapa? " tanya Mbak Wiwik sambil tangannya cekatan mulai membungkus pesanan Yu Parti.
"Sepuluh ada? "
Deg, Mbak Wiwik begitu terpesona. Â Sepuluh bungkus? Â Bahkan membayangkan saja tidak berani, ada orang pesan sebanyak itu di masa seperti ini.
Dengan cepat dilihatnya persediaan cingur, Â tempe, Â tahu dan sayuran .
"Cukup, Â ada Mas," katanya senang.Â
"Masnya tunggu di sini, Â atau nanti biar diantar anak saya? Â Rumahnya di mana? " tanya Mbak Wiwik lagi.
Orang itu melepas kacamata hitamnya. Â Senyum langsung mengembang di wajahnya.Â
"Mbak Wiwik lupa sama saya ya? " katanya. Mbak Wiwik terperanjat.Â
"Ya Allah... Â Hasaaan, Â pangling aku, " kata Mbak Wiwik senang. Â Yu Parti yang sudah membawa rujak pesanannya tidak jadi pulang.
Hasan. Siapa yang tidak kenal dia? Â Anak pak RT yang kabarnya sukses jadi pengusaha di kota besar. Â Dengar-dengar mau mencalonkan diri jadi anggota DPRD pula. Â Duh... Â Melihat penampilannya memang tampak mantap sekali.
"Katanya mau 'nyalon'? " tanya Yu Parti ikut nimbrung.
"Iya Yu, Â mohon doa restunya ya.., " kata Hasan merendah.
"Kok tidak pasang baliho San? " tanya Mbak Wiwik sok tahu.  Ia melihat dimana-mana sekarang ada baliho.  Baik yang mau mencalonkan jadi presiden atau entah jadi  apa lagi.Â
"Tidak usah Mbak Wiwik. Lebih manfaat kalau uang untuk pasang baliho dipakai makan sama-sama. Â Seperti makan rujak hari ini.., " kata Hasan sambil tertawa.
Mbak Wiwik tertawa senang. Â "Pinter kamu San, Â rakyat tidak butuh baliho.. Â Yang dibutuhkan sekarang bisa makan dan sehat...,"
"Ini rujaknya diantar ke rumah? "
" Nanti dibagikan ke rumah-rumah sekitar sini saja Mbak Wik.  Satu rumah dua bungkus.  Hitung-hitung syukuran saya pulang dari Jakarta, "
"Siap San, Â nanti diantar Dio.., Â "jawab Mbak Wiwik semangat. Â Hasan mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna biru.
 "Kembalinya buat Dio,  buat beli paketan, " katanya gagah.
"Suwun.. Suwun ya San..  Eh,  bener lho..  Tidak usah pasang baliho...  Daripada untuk baliho lebih baik uangnya untuk  yang lain saja.  Ya, salah satunya buat traktir rujak seperti hari ini.., he..he..., " kata mbak Wiwik lagi.
Hasan mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum. Â Yu Parti juga.Â
Yah,  tahu dapat gratisan seperti  ini aku tidak beli rujak tadi, sesal Yu Parti sambil meninggalkan warung rujak Mbak Wiwik.
Arti istilah:
Badhe pesen rujak. : mau pesan rujak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H