Dalam dua hari ini saya benar-benar kehilangan ide untuk menulis. Persiapan penerimaan rapor, mengingatkan anak-anak untuk segera melengkapi tugas, menghubungi orang tua, membuat ide menulis menguap begitu saja. Ditambah lagi dengan menunggu pengumuman hasil SBMPTN. Nah, ini yang paling menegangkan.
Sedikit cerita, anak saya yang paling kecil tidak lolos SNMPTN, sehingga untuk masuk PTN ia harus mengikuti tes lewat jalur SBMPTN.Â
Sungguh saya agak ragu. Kenapa? Melihat gaya belajar di masa pandemi ini benar-benar membuat saya ketir-ketir. Dulu kakak-kakaknya selalu tampak tekun belajar. Bahkan di beberapa hari menjelang ujian  mereka rajin mengikuti bimbel, baik di luar maupun di sekolah.Â
Lalu bagaimana dengan si bungsu ini? Karena pandemi, bimbel sekolah tidak ada. Bimbel di luar mungkin ada, tapi online. Kurang sreg katanya.
Jadinya menjelang SBMPTN anak saya  belajar sendiri. Sesekali ia menanyakan soal matematika dasar pada saya dan dari situ saya bisa merasakan bahwa sedikit sekali yang dipahaminya.  Waduh,  saya berpikir jangan-jangan pemahamannya terhadap mapel yang lain juga dangkal seperti itu.
Seminggu menjelang hari pelaksanaan tes kertas-kertas rangkuman ditempel di dinding.  Memang saya sarankan seperti itu.  Supaya setiap  saat rangkuman selalu kelihatan sehingga cepat hafal,  itu alasannya. Â
Alhasil di dinding banyak rangkuman, mulai geografi, Â ekonomi juga sejarah. Â Karena anak saya jurusan bahasa ada mapel yang diujikan di SBMPTN yang tidak didapatkannya di kelas dua dan tiga SMA. Â Contohnya ekonomi dan geografi. Untuk dua mapel ini ia harus belajar keras.
Bicara masalah pilihan, ia menentukan pilihan satu di Jogja dan pilihan dua di UM. Ingin jadi guru seperti ibuk katanya.
Sebenarnya dalam hati kecil saya, saya ingin dia kuliah di Malang saja. Â Saya pernah menguliahkan dua kakaknya di luar kota. Dan rasanya memang agak berat, karena tiap hari kangen. Benar juga kata Dilan bahwa rindu itu berat. Tapi untuk melarang si bungsu saya tidak tega. Â Takut dia mempunyai perasaan dibedakan. Â Kalau Mas boleh, Â kenapa saya tidak.Â
Setelah sebulan lebih kami menunggu saat pengumuman, tibalah pada tanggal yang dinanti yaitu 14 Juni.  Malam hari  sebelumnya, anak saya begitu tegang.  Sampai malam ngobrol dengan saya.