"Ai, ai kapten mami."
"Kak, Mami, Papi tidak butuh nilai kakak 100 tapi hasil usaha orang lain, mending kakak dapat 20 tapi  dikerjakan sendiri dengan kejujuran, itu lebih bermakna dari pada 100 dengan curang." Tak menjawab gadis kelas 3 SD itu mengangguk pelan.
Sebenarnya pikirannya sedang kacau, semalam tidak belajar dengan baik karena keburu ngantuk. Sejak sang mama memutuskan bekerja otomatis jam mereka harus menyesuaikan jam kerja sang mama.Â
Bangun jam 5 subuh, mandi, ganti baju, sarapan memastikan kembali isi tas yang sudah disiapkan sejak malam. Jam setengan tujuh sudah harus jalan pertama mengantar sang mama, setelah itu adiknya di baby care dan terakhir dia dan sang papa karena satu kompleks.
Jika lewat 5 menit saja keluar dari rumah maka macet di jalan dan emosi papanya akan buruk. Setelah pulang sekolah jam 12 siang, dia tidak ikutan pulang, harus menunggu di kantor papanya. Ngantuk tapi tak bisa tidur rasanya aneh kalau harus tidur sambil duduk, kok mirip vampire sih.Â
Papanya kelewat tegas, bertingkah sedikit dimarahi, berlarian di panas dan keringat dimarahi, hanya bertanya dimarahi. Hah rasanya serba salah, mending di rumah saja tapi siapa yang menjaga? Pengasuh yang baru kerja sebulan lalu mengundurkan diri. Baru saja direkrut yang baru, eh gugur setelah satu minggu akibat malaria berkepanjangan. Â Â
Setelah menjemput mamanya dan adik mereka berkendara ke rumah dan karena macet tibanya sudah malam. Sampai di rumah, mamanya akan cepat-cepat masak, mandi dan makan malam.Â
Kalau baterainya masih ada dia akan mengerjakan PR bersama, tapi disertai omelan panjang. Alasannya sudah malam lah, sudah capek lah, tidak sayang orang tua dan lain-lain yang tak mau di dengar anak itu. Hah, capek selalu terburu-buru mirip lalu lintas padat. "Tuhan bolehkah meminta, agar mama di rumah saja?" Doanya.
Timika, 5 September 2021
YL. Warem
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H