"Kenangan"
Menjorok pangkat didua pundak seragam tugas yang tegas.
Menjarak pangkal lidah diujung sumpah mengayomi aku.
Dengan menyebut nama Tuhan!
Ludah jatuh ketanah lalu terinjak sepatu.
Kita sama-sama tahu liur tidak dapat dimakan.
Namun kau tersenyum sambil menelannya hingga kering.
Aku tersenyum memaknai setiap celah sendi nadi jemari.
Kau menyangkal semua kisah dua sejoli duduk bersama bencana.
Kehakiman semakin meredup lampu lalu lintas jalanan tol pilihan untuk menghindarkan macet.
Begitupun kejaksaan melambaikan tangan laksana tembang kenangan percintaan petang.
Presiden; mungkinkah kisah semalam dicianjur merupakan lagu legenda asmara nusantara?
Aku sendal sambungan ban dalam mobil angkutan umum jauh dekat tiga ribu rupiah saja.
Dua sahabatmu datang dari jauh melintasi daratan serta langit awan-awan kemerdekaan.
Presiden; terjadikah kesalahan alat vital negara sehingga lagu lama diputar kembali dimedia?
Aku rekam kedalam kaset kosong yang sangat hancur akibat gempa meletus wasior.
Diantara kelusuhan bendara terendam segala bentuk kotoran logika.
Aku berdiri tegak menyatakan aku masih orang Indonesia.
Begitu adanya hingga bumi belah tiga oleh bencana serta aku masuk terkubur diantaranya.
Presiden; pasangkanlah batu nisan untukku.
Lalu tulislah kata kematian yang sangat pantas untukku.
--------------------------------------------
Jakarta, 14 November 2010
yukisastra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H