Mohon tunggu...
Yukie H. Rushdie
Yukie H. Rushdie Mohon Tunggu... -

Peace...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Seputar Dana “Gentong Babi”: Martabat dan Ongkos Demokrasi

21 Januari 2011   05:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:20 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Catatan Seputar Dana “Gentong Babi”:

Martabat dan Ongkos Demokrasi

Oleh YUKIE H. RUSHDIE

PERTAMA-TAMA, DPR perlu “dihargai”. Kedua, perlu “ongkos”. Sebab, baik sistem diktatorial maupun demokrasi, kesemuanya butuh anggaran. Itulah sebabnya mengapa ke-50 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Karawang ngotot dan habis-habisan memperjuangkan aspirasinya sendiri, lalu akhirnya berbuah manis. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011, uang rakyat sebesar Rp 100 miliar dialokasikan untuk 50 anggota dewan (artinya Rp 2 miliar per orang). Tambahan uang bernama “dana aspirasi” itu, yang tentu saja berada di luar gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya, meluncur mulus tanpa hambatan, dan sudah “legal”, karena sudah disetujui oleh legislatif dan eksekutif.

Sesuai undang-undang, DPR memang punya “peluang” yang tidak boleh disia-siakan. Peraturan tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD/DPD mempersilakan lembaga yang bersangkutan untuk mengatur kedudukan protokoler mereka masing-masing. Aturan-aturan itu, tentu saja, harus dibikin bersama-sama pemerintah. Peraturan itu pun memungkinkan mereka menyusun anggarannya sendiri, supaya sifat dan martabatnya tambah “mantap”. Jadi, baik di dalam APBN maupun APBD, bisa terpampang mata anggaran khusus untuk lembaga-lembaga itu.

Supaya “peluang” yang tersedia itu tidak terbuang percuma, DPR pun biasanya membentuk panitia tersendiri yang berapat nonstop sampai “kemauan”-nya tercapai. Mereka menyusun aturan-aturan protokoler dan anggaran keuangan. Tapi, kali ini bukan untuk kemaslahatan para pencontreng, atau siapa pun, melainkan buat diri mereka sendiri. Sekali ini, mereka pasti bergumam, dan meminta segenap publik harap memaklumi. “Sebab, kalau bukan mereka sendiri, siapa pula yang sempat memikirkan martabat dan nafkah (tambahan) mereka? Pemerintah tentu kurang tempo, repot dengan urusannya. Apalagi rakyat,” begitulah, kira-kira, gumamannya.

Apa sih yang sebetulnya mereka inginkan? Kira-kira, begini. Demi martabat, aturan protokol untuk anggota DPR berikut pimpinannya harus jelas. Tak peduli yang “dipilih” murni atau yang “diputuskan” melalui Mahkamah Konstitusi (MK), mereka ingin dipukul rata bahwa semuanya adalah wakil rakyat. Kalau terhadap rakyat kebanyakan saja tidak boleh bertindak sembarangan, apalagi kepada para wakilnya. Dalam setiap acara resepsi, misalnya, harus tegas kursinya. Di mana presiden, di mana menteri, di mana gubernur, dan di mana beliau-beliau yang “para anggota” itu. Jangan sampai dibiarkan jongkok. Bukannya karena jongkok itu membahayakan jiwa, tapi hanya gelandangan dan yang berminat hajat besarlah yang biasanya berada dalam posisi itu. Atau, umpama -- atas tarikan takdir -- ada seorang anggota DPR dan seorang menteri yang hadir, padahal kursi cuma satu, siapa gerangan yang mustahak mendudukinya? Pilihannya harus cepat dan tegas, karena mustahil mempersilakan keduanya duduk bertumpuk seperti keong. Inilah bidang protokol, tatabudaya meletakkan seorang manusia pada proporsinya, supaya martabatnya tidak terombang-ambing, tapi persis terpaut pada skala pangkat dan penghasilan yang diperolehnya.

Ini, kemudian, berimbas ke soal anggaran khusus. Martabat akan bisa lebih tegak berdiri kalau ditunjang oleh ongkos-ongkosnya yang cukup. Tahun 2010, setiap anggota DPRD Karawang “hanya” menerima “dana aspirasi” (di AS disebut pork barrel bills atau “dana gentong babi”) sebesar Rp 650 juta, atau sepertiga dari yang akan diterimanya tahun ini. Di mata mereka, angka itu -- tampaknya -- belum memadai. Dengan anggaran yang “hanya segitu”, urusan jadi agak seret. Mau cicil mobil mewah, rumah elit, bermanis-manis dompet kepada “yang mulia partai”, berakrobat mengisi gentong-gentong mesjid, serta menjaga keharmonisan dengan sahabat-sahabat dari media dan LSM setiap bulannya hampirlah mustahil, karena honorarium akan habis ditelan proyek-proyek pencitraan semacam itu, tanpa ada yang terbawa pulang ke rumah ataupun tertitipkan di bank-bank. Padahal, tanpa kegiatan pencitraan itu, bagaimana mungkin seorang anggota dewan bisa dikagumi oleh para mustahik pemilihnya? Belum lagi urusan kesehatan. Di mata mereka, apa yang diterimanya sekarang dianggap masih terlampau sederhana. Kalau untuk sekadar sakit yang enteng-enteng, seperti pusing kepala dan mules, bolehlah. Tapi fasilitas itu belumlah memadai kalau untuk “sakit gigi”. Padahal, melihat rata-rata umur anggota DPR, gigi mereka itu cenderung sudah perlu perawatan intensif. Sebab, secara profesi, mereka itu kan perlu bicara dan senyum banyak-banyak. Peranan gigi sangatlah menentukan. Mereka pun, tentunya, sudah tak pantas lagi setiap bulannya menggendong karung beras dan gula pasir dalam kantung plastik, seperti para anggota DPR tempo doeloe. Ini bisa bertautan dengan martabat.

Pembaca, untuk dipermaklumi, pada kepentingan di titik-titik itulah para anggota dewan kemarin berjuang habis-habisan mendapatkan “gentong babi”. Padahal, sebagaimana ditulis Tajuk Rencana harian Pikiran Rakyat Bandung (20/1), apa yang disebut “dana aspirasi” itu -- secara internasional -- sudah menjadi bahan olok-olok. Istilah dana “gentong babi” itu sendiri, yang diluncurkan di AS, mengingatkan pada majikan-majikan kulit putih yang memberi hadiah daging babi kepada para budak kulit hitamnya yang dinilai rajin. Secara politis, istilah itu sama dan sebangun dengan yang digunakan untuk praktik permintaan atau bancakan dana dari legislatif bagi para konstituennya.

Tak terasa, DPR hasil Pemilu 2009 kini sudah memasuki tahunnya yang kedua. Sebagian anggotanya sudah mulai beruban, sebagian lagi tambah gemuk berkat dimakan usia atau makan waktu, dan satu-dua (mungkin) kena wasir gara-gara rajin rapat hingga lewat tengah malam. Memang, dari sekian banyak “bunga mawar” yang menghiasi gedung-gedung rakyat itu, tentu terselip juga beberapa kembang plastik. Ini, tentu saja, bisa merusak pemandangan dan mengganggu martabat. Bahkan, keberadaan kaum “pembaca koran terbalik” itu (seringkali) justru cenderung lebih menarik perhatian publik. Tapi, dari seribu pisang, selalu ada saja satu yang dempet, dan mencuri perhatian karena ketidaksamaannya itu.

Ironisnya, ketika sudah bicara soal pernikahan martabat dan anggaran, segenap “bunga mawar” dan “pisang normal” pun -- entah kenapa -- segera mengubah ujudnya menjadi “kembang plastik” lalu saling berdempetan. Rohani serta syaraf mereka yang tadinya bugar mendadak kram. Kata hatinya sontak bercerai dengan bunyi mulutnya. Tidakkah mereka sadar, bahwa keberadaannya di ruangan ber-AC itu telah mengorbankan banyak keringat publik yang sudah merasa lelah nyontreng, bahkan ada pula yang sampai kena gebuk, kena tahan, kena jepit pintu mobil, kena timpa alat pengeras suara, dan kena tilang polisi karena melanggar rambu lalulintas sewaktu mau ikut pawai kampanye? Ataukah perjuangan meraup “dana aspirasi” itu memang merupakan bentuk lain dari “rasa iba” dan “terima kasih” mereka kepada rakyat pemilihnya, yang -- seperti hantu -- terus menghinggapi tengkuk dan seakan siap mencekik lehernya kalau saja mereka alpa melakukan tugas-tugas legislatifnya? Entahlah, jangan-jangan itu sekadar eufemisme menuju “cita-cita sejak kecil” menjadi calo anggaran dan kontraktor pembangunan “jembatan” yang menghubungkan rakyat dengan pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun