Oleh
YUKIE H. RUSHDIE
MATAHARI 2010 sudah kian miring ke barat. Di timur, bayangan
cahaya 2011 mulai mengintip. Yang pergi berganti yang datang. Dialektika tiada
henti atas nama waktu. Begitu juga di wilayah "kursi empuk" kekuasaan. Para Calon
Bupati Tasikmalaya dan Cianjur, misalnya, bakal segera menuju panggung "seleksi
massal", 9 dan 10 Januari nanti. Memang, di setiap pergantian tahun, selalu ada
tiupan harapan baru di hati rakyat tentang bakal lahirnya (gaya) kepemimpinan
yang baru juga.
Dulu, di tahun 1966, orang nyaris
bersepakat: tak perlu lagilah itu tipe kepemimpinan yang solidarity-maker, yang melompat dari podium ke podium, bagaikan
awan yang tergantung di atas lautan massa. Itu sudah out of date, bukan zamannya lagi. Boleh jadi, gaya seperti itu memang
tepat untuk masanya, tapi tidak untuk seluruh masa. Yang kemudian diperlukan adalah
tipe "administrator", seperti Kennedy atau si tua Adenauer itu. Maka, muncullah
tipe kepemimpinan edisi baru, model mutakhir, produk cemerlang sanjungan
demonstran.
Kemudian, di tahun 1998, yang tadinya
baru itu sudah dianggap tidak baru lagi. Perlu yang lebih baru. Karena, di
dunia ini, segala sesuatunya memang selalu berkembang secara dialektis. Tipe
administrator itu memang baik. Tapi, urusan manusia sudah telanjur meruwet, tak
lagi bisa dipahami hanya dengan memperlakukan mereka bagaikan bundel-bundel dan
angka-angka. Para teknokrat pun, si "dewa-dewa modern" itu, memang baik. Tapi,
membangun pabrik tidaklah sesulit melakukan komunikasi sosial. Karena,
heterogenitas menuntut rasa cermat. Maklum, yang berbeda di sana bukanlah
sekadar isi kepala, tapi juga warna dan panjang-pendeknya rambut yang tumbuh di
kulit kepala.
Lantas, gaya kepemimpinan model apa yang
kini -- di ambang tahun 2011 ini -- bisa menjawab tantangan aktual dari situasi
zaman?
Sekali waktu, gaya "menggertak" itu
memang memadai. Tapi, lama kelamaan, hal itu hanya akan membikin orang
terheran-heran: apa sudah tidak ada yang lebih penting lagi daripada gertak
menggertak? Pasalnya, kalau gaya "gertak" itu sudah menjadi sesuatu yang rutin,
orang pun akan mengalami kesulitan lagi untuk merasa takut. Dan, selanjutnya, orang
akan menjadi lelah lantaran waswas atau curiga yang tak berujung pangkal, yang
-- pada akhirnya -- hanya akan menganggap hal itu sebagai beban batin yang sama
sekali tidak perlu. Apa sih
manfaatnya memandang dunia dunia lewat "kacamata hitam", padahal sang surya
selalu siap dengan anugerahnya yang cuma-cuma? Apa bagusnya sih melihat keadaan di mana orang lebih
mudah diajak merasa takut daripada diajak hormat? Apa istimewanya sih dengan kondisi di mana setiap orang
-- demi selamat dan asap dapur -- siap menobatkan diri jadi penyanjung dan si
manis mulut, tersenyum-senyum tanpa sebab musabab yang jelas, hipokrit dan
kompromis, menyembunyikan sikap pribadinya hingga jauh di pantat, hanya karena
khawatir diketahui orang lain? Semua itu hanya akan membuat para pemimpin --
ibarat terkait balon-balon gas -- melambung jauh ke atas sana, sukar disentuh
tangan maupun hati, dan sukar pula diturunkan. Sementara di bawah, publik yang
jelata itu hanya bisa mendongak sambil mengangakan mulut, atau lunglai menundukkan
kepala ke bumi, menatap persis ke ujung jari jemari kakinya, dan mencari
jalannya sendiri dengan sisa-sisa harapan, andaikata memang ada yang bersisa.
Kadangkala, ada juga anjuran untuk
mengambil gaya kepemimpinan "jalan ringkas", yang bengis namun terus terang. Ini
adalah kepemimpinan dengan tipe sebagaimana nasihat Niccolo Machiavelli kepada
Pangeran Lorenzo Yang Perkasa. Konon, kalau mau awet berkuasa, pangeran itu
harus pandai-pandai meniru binatang singa dan rubah. Jangan meniru singa saja,
karena singa tak mampu mengendus perangkap. Jangan juga meniru rubah saja,
karena rubah mudah diterkam serigala. Sang pangeran harus bisa menjadi rubah
supaya jeli menjauhi perangkap, dan menjadi singa agar ditakuti serigala.
Pendek kata, seorang pemimpin itu memang perlu memperlihatkan sikapnya yang
penuh kasih sayang, setia, jujur, dan beribadat. Tapi, begitu keadaan
menghendaki, ia pun harus sanggup untuk mempersetankan semuanya itu. Untunglah,
berhubung di zaman sekarang ini mahligai para pangeran itu sudah
terguncang-guncang oleh rupa-rupa revolusi, dan kekuasaannya pun sudah benar-benar
menipis, maka ajaran Machiavelli tadi sudah semakin kehilangan pendengar.
Berikutnya, lewat rentetan Parkinson's Law-nya yang sarat kelakar
tapi memikat, C. Northcote Parkinson pun pernah mencoba-coba mengajukan syarat
agar kepemimpinan itu bisa sedikit tahan lama. Sebelum menggelontorkan
syaratnya tersebut, terlebih dulu Parkinson mengkonstatasi bahwa "krisis
kekuasaan" itu -- sebenarnya -- bermula dari "Revolusi Kaum Wanita". Tatkala
rok berganti celana, mereka ramai-ramai memasuki perguruan tinggi dan
membanjiri kotak suara pemilu, sekaligus menyebabkan para pria berhenti jadi gentleman dan wanita terangkat ke atas
sebagai lady, lalu anak-anak tak tahu
lagi siapa penguasa rumah, dan sekolah tak mampu lagi menggantikan otoritas
sang bapak yang meruntuh, sehingga lembaga-lembaga pendidikan seolah tak kenal
lagi disiplin. Alhasil, kantor pemerintah dan bisnis pun penuh sesak oleh
berandalan yang tak (mau) tahu apa itu aturan.
Menurut Parkinson, pemimpin itu perlu
imajinasi, lalu menyusul pengetahuan, punya kepastian bertindak, kesanggupan,
keras hati bercampur sedikit bengis, dan daya tarik. Pemimpin yang dungu (entah
hantu mana yang mengangkat dia ke sana), biasanya gemar mencari kesalahan,
menghardik dan bergunjing, serta perutnya sering mulas dan terlibat cekcok
dengan istri. Keras hati bercampur sedikit bengis itu perlu, guna berani
menghukum yang salah dan mengacau. Malapetaka yang banyak menimpa dunia
sekarang ini semata-mata lantaran kita suka mengulur-ulur kenikmatan memberi
instruksi, lalu mengharapkan peningkatan kualifikasi teknis yang tak berkesudahan
sampai orang-orang itu lewat setengah umur, dan 20 tahun mendatang segala-galanya
jadi berantakan.
Gaya mana yang paling cocok, memang
belumlah terlalu pasti. Yang sudah pasti, suara perihal perlunya (gaya) "kepemimpinan
baru" itu sebetulnya muncul dari mulut para pemimpin juga. Namun, apakah "keinginan"
mereka itu bermakna pergantian fisik, atau sekadar reparasi akhlak dengan --
misalnya -- lebih beramah tamah kepada penduduk, lebih sabar mendengarkan
keluhan, dan mengganti roman garang menjadi roman jernih (setidaknya roman
netral bagaikan umumnya pemeluk Konfusius tulen), itu masih termasuk yang belum
pasti juga. Perlunya "kepemimpinan baru" itu pun bukanlah berarti penggantian "kepemimpinan
nasional", kata penjelasan susulannya. Tapi, apa saja sih yang termasuk di dalam "kepemimpinan nasional" itu? Lagi-lagi
belum pasti.
Pada akhirnya, yang perlu perombakan itu
adalah "sistem menjadi pemimpin"-nya sendiri. Dari dulu, istilah two-way-traffic itu hanyalah jadi mainan
mulut. Soalnya, cegatan lalulintasnya terlalu banyak. Konon, demokratisasi di
segenap sektor adalah satu-satunya gerbang menuju komunikasi terbuka. Demokrasi
politik dan demokrasi ekonomi harus dijalankan secara sekaligus. Kalau ada yang
berpandangan bahwa "pembangunan ekonomi itu sebetulnya bisa berjalan tanpa
demokrasi", ya silakan sajalah. Tapi, yang sama sekali tidak boleh dilupakan,
baik dengan ataupun tanpa demokrasi, adalah soal untuk siapakah sebetulnya
pembangunan itu? Apakah masih berbunyi "dari, oleh, dan untuk rakyat", atau sudah
berganti menjadi "dari, oleh, dan untuk siapa ya"? Ini jelas soal lain. Betul-betul
soal lain...