Menjamurnya buku dan novel tentang pesantren memantik dampak positif dan negatif. Positifnya para pembaca punya banyak pilihan dan mendapat berbagai referensi judul sesuai yang diminati. Negatifnya pembaca akan dibuat bingung mana buku dan novel yang lebih berkualitas dan mana yang tidak.Â
Seringkali saya menjumpai novel berbau pesantren tapi isinya lebih banyak membahas tentang cinta dan drama rumah tangga yang mengedepankan seks. Jelas novel semacam ini tidak bisa dijadikan rujukan untuk anak-anak di bawah umur. Padahal mereka justru yang paling butuh pendidikan dan bacaan yang mengandung banyak ilmu untuk memompa semangat menyongsong masa depan.Â
Novel Negeri Lima Menara adalah satu dari sekian novel pesantren yang wajib dikoleksi di perpustakaan pribadi. Novel yang berkisah tentang Alif Fikri-seorang remaja yang dirundung dilema, memilih sekolah umum atau masuk ke pondok pesantren. Adalah kisah epik yang padat dengan pelajaran hidup yang berharga. Bagaimana Alif menaklukkan egonya yang pada akhirnya harus menuruti titah sang ibu agar lebih memilih pesantren daripada sekolah umum. Bagaimana nasib para ulama masa depan jika yang masuk pesantren adalah anak-anak buangan yang dianggap nakal? Itulah prinsip yang dikemukakan sang ibu--prinsip yang tidak banyak dimiliki orang tua lain di dunia. Cara pandang yang unik yang mampu mengubah pola pikir bahwa anak berprestasi justru harus masuk ke pesantren. Fungsi utama pesantren bukan seperti bengkel, hanya membenahi anak-anak bodoh dan nakal. Tapi untuk anak-anak cerdas yang berpotensi menjadi tokoh dunia. Tokoh dunia yang alim ilmu agama dan ilmu dunia.Â
Novel Negeri Lima Menara adalah novel pembangkit jiwa yang sesungguhnya. Semangat santri Madani dalam belajar menggapai mimpi adalah semangat yang harus dimiliki oleh seluruh santri dan para pemuda di seluruh negeri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H