PERAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN PADA PERKEMBANGAN EMOSIONAL ANAK
Bagian I
"Kamu kok dari tadi maenan ponsel kak, bukannya belajar!" Â Seru sang Ayah sambil kembali lagi asik dengan laptopnya.
"Iya, ini baru mau belajar" Jawab si anak.. kemudian si anak masuk ke kamarnya dan kembali meneruskan keasikannya sms an di ponsel.
Lalu kemudian datang si Adik merajuk pada Ibunya meminta menyelesaikan pekerjaan rumah yang dirasanya sangat sulit untuk di kerjakan.
"Sama ayah saja minta tolongnya, Ibu ga ngerti.. " Jawab Ibu mengelak..
"Kata Ayah, Ayah sedang sedang sibuk dengan tugas kantornya Bu,.. " Keluh si Adik
"Ya sudah nanti tunggu sinetronnya selesai yaa.." Jawab si Ibu lagi..
Dari penggalan cerita diatas terlihat bahwa sebenarnya si Ayah sudah "kehilangan figur" sebagai seorang ayah, sibuk dengan pekerjaan kantor bukan berarti tidak ada waktu untuk anak-anak. Seharusnya si Ayah bisa lebih profesional dalam membagi waktu, kapan saatnya untuk pekerjaan dan kapan saatnya untuk keluarga meskipun hanya beberapa menit. Begitu pula dengan si Ibu.. meskipun tugas rumahtangga yang tidak pernah ada habisnya 24 jam pekerjaan itu selalu muncul.. namun tidak melulu harus mencuci, memasak atau menyetrika, kalau untuk menonton sinetron saja bisa meluangkan waktu berjam-jam (plus iklan) kenapa tidak meluangkan waktu untuk sekedar menemani anak belajar dan membantu mengerjakan PR nya. Kendati demikian seharusnya ada komitmen antara Ibu dan Ayah mengenai siapa yang berhak membantu anak-anaknya dalam hal belajar, meskipun adalah sudah menjadi  kewajiban orang tua dalam mendidik anak dirumah.
Hal seperti itu membuat si anak akan berfikir "Jika orang tua tidak peduli pada saya, maka saya berhak untuk tidak peduli dengan ucapan mereka".
MEMBIASAKAN UNTUK MEMINTA MAAF
Kesalahan sekecil apapun yang dilakukan orang tua entah itu pada anak, pada saudaranya, atau pada ayah/ibunya akan lebih baik untuk meminta maaf. "Maafkan mama ya kak, mama terlambat menyiapkan sarapan", atau "Ayah minta maaf ya dek, ayah telah berbicara keras tadi"
Meminta maaf akan membuat si anak merasa "dihargai" menenangkan bathinnya, merasa tidak disepelekan. Dengan begitu si anak akan melakukan hal yang sama kepada orang lain "Meminta maaf tanpa paksaan".
"Bu, anak ibu tadi sudah merebut mainan anak saya, dan sekarang mainan itu dihancurkannya!" Keluh Ibu A
"Ooh.. berapa sih harga mainan itu, nanti saya ganti?" Tanya si Ibu B sambil memegang tangan anaknya
"Anak saya memang begitu, kalau ada mainan pasti dirusaknya" Dengan bangga si Ibu memberi alasan sambil mengelus kepala anaknya.
Sekilas solusi yang Ibu B berikan akan menenangkan perasaan Ibu A, bahwa dengan menggantinya masalah terpecahkan, tapi bagi si anak.. mereka akan berpendapat bahwa apa yang dia lakukan terhadap temannya sah-sah saja. Dengan begitu dia akan berfikir bahwa "Kata Maaf" itu tidak penting.
Si anak akan tumbuh menjadi anak yang egois, yang selalu merasa orang harus mengerti saya, tapi saya tidak perlu mengerti orang lain. Kata "Maaf" hanya berlaku untuk orang lain kepadanya.
Sebenarnya, yang perlu kita tahu, rumah adalah "sekolah pertama" bagi anak, karena dari 24 jam, kegiatan terbanyak dilakukan dirumah. Tuhan tidak pernah menciptakan anak nakal, tapi orang tua lah yang menjadikan anak itu "berlabel" nakal atau baik. Orang tua dan lingkunganlah yang menciptakanKarakter pada anak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H