HOW TO MANAGE EXCESSIVE DESIRE
Ketika Wini berjalan-jalan di koridor sebuah Mall bersama temannya Nina, tiba-tiba saja ia berhenti didepan etalase toko yang memamerkan berbagai jenis tas "branded" yang tertulis "New Arrival", kemudian tanpa ragu Wini mengajak Nina memasuki toko tersebut. Didalam Wini dan Nina saling berdiskusi tentang daya tarik pada tas tersebut, Nina menyarankan untuk tidak membelinya mengingat sudah banyaknya tas dilemari Wini yang akhirnya "cuma" jadi pajangan setelah dua tiga kali pakai. Sementara Wini merasa wajib membeli tas itu berharap teman-temannya belum memiliki tas "branded" keluaran baru yang sedang dipegangnya, dengan membeli tas "branded" akan menaikkan pamornya. Dia berfikir semua barang bermerek yang dimiliki menjadikannya sebagai wanita berkelas, wanita yang berkesan "wah" yang merasa dirinya lah paling hebat. jadilah kartu kredit sebagai proses akhir transaksi.
Dalam kasus berbeda, seorang pria pedagang asongan sedang menghitung sisa uang yang ada disaku celananya, terfikir olehnya uang itu akan dia pergunakan untuk belanja barang dagangannya kembali, tetapi disaat yang sama pula dia harus membeli beras, dan obat untuk anaknya yang sedang sakit. Jadilah dilema karena disatu sisi anak istrinya pun butuh makan, bahkan dia sendiri sudah sejak pagi tidak sepotong kue pun mampir kedalam mulutnya, air putih yang terus menerus dia konsumsi hanya sekedar untuk mengganjal rasa haus dan lapar. Sementara jika dia belikan semua uangnya untuk belanja barang dagangannya, maka yakin seratus persen anak istrinya akan kelaparan. Terfikirlah olehnya untuk meminjam pada kenalannya yang katanya "Â Dewa Penolong". Dengan terpaksa dia menyanggupi syarat pengembalian uang pinjaman meskipun dirasa sangat mencekik, karena dia harus menambah 20% dari jumlah uang semula.
Soal memenuhi keinginan, keduanya sama-sama mempunyai keinginan untuk membeli kebutuhan. Dengan berutang maka keinginan mereka mungkin bisa terpenuhi meskipun keduanya menggunakan cara berhutang yang berbeda tetapi tetap saja berhutang.
Tidak terkendalinya keinginan menjerumuskan manusia pada pemborosan, belanja berlebihan padahal sebenarnya barang yang dibeli tidak terlalu penting, gaya hidup mewah demi gengsi. Padahal barang bermerek tidak menjamin seseorang akan menjadi seorang yang hebat, yang ada hanyalah hilang nya kepedulian, perasaan peka terhadap orang yang "berada dibawahnya". Sementara kesulitan yang dihadapi pedagang asongan menjadikan dia merasa "hilangnya" kepercayaan dan respect terhadap orang-orang yang "berada diatasnya".
Ketika seseorang dihadapkan pada persoalan hutang, maka hanya ada dua kemungkinan : membayar hutang tersebut berikut bunga, atau mencari "utangan" lain untuk menutup utangnya terdahulu.Yang perlu diwaspadai adalah ketika kita berhutang tanpa alasan jelas atau tujuan yang positif, atau mungkin tanpa pertimbangan yang tidak disesuaikan dengan kemampuan kita. Maka semakin jauh kita terlibat dengan hutang, maka akan semakin terjerat dalam sistem keuangan yang sebenarnya hanya menguntungkan satu fihak. Sebuah strategi menguntungkan bagi pemilik  uang tetapi tidak bagi orang yang berhutang.
Jadi kenapa tidak ,  berusaha untuk memulai melupakan addictive shopping, lupakan kartu kredit jika memang tidak bisa mengendalikannya. Mengkalkulasi setiap kebutuhan baik yang primer maupun yang hanya sebatas "suka". Hindari pengambilan uang melalui ATM secara berlebihan, karena hanya akan menghabiskan saldo pada tabungan.
Katakan "lain kali saja" saat kita melihat produk elektronik, pakaian, atau barang-barang yang sebenarnya sudah ada meskipun dalam model yang berbeda. Sehingga kita bisa lebih fokus terhadap prioritas utama. Yang paling penting untuk di ingat adalah,
Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni  kecuali utangnya. (Hadits Riwayat Muslim)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H