Mohon tunggu...
Yuka Langbuana
Yuka Langbuana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Konservatif tertib nalar. Washington State University Senior majoring in Computer Science and Economics Follow saya di Twitter dan Instagram: @YukaLangbuana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demagog: Titik Lemah Kekuatan Demokrasi dan Peringatan Bagi Indonesia

14 Juli 2017   18:39 Diperbarui: 14 Juli 2017   18:42 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: hastagnews.co.id

"You [demagogues] are like the fishers for eels; in still waters they catch nothing, but if they thoroughly stir up the slime, their fishing is good" -Aristophanes

Maret 2017,

Sore itu saya sedang berjalan-jalan melihat deretan buku di perpustakaan kampus saya. Berpindahlah saya dari satu deretan kategori ke kategori lain hingga mata saya tertawan pada buku-buku karya filsuf-filsuf agung yang berdiri tegak di sebuah rak buku. Kebetulan saya pernah mengambil kelas filosofi dan saya bisa mengenali nama-nama di deretan buku tersebut seperti Immanuel Kant, Friedrich Nietzsche, Max Weber, dan lain sebagainya. Entah mengapa tangan ini terayun untuk mengambil buku La Republicakarya Plato.Duduk lah saya membaca beberapa bab dari buku tersebut, dan ada satu topik menarik yang ingin saya bicarakan disini.

Dalam bukunya, Plato bercerita tentang Sokrates yang pernah bertanya kepada seseorang di Athena. Sokrates menggambarkan Athena sebagai sebuah kapal raksasa yang siap mengarungi lautan luas. Tentu seorang nahkoda dibutuhkan untuk memimpin kapal tersebut melewati kesulitan dan perjalanan panjang yang akan dihadapi. Beliau kemudian bertanya:

"Siapa orang yang paling pantas memilih nahkoda kapal tersebut? Semua penumpang, atau orang-orang yang memiliki pengetahuan akan pelayaran dan perkapalan?".

"Tentu saja orang-orang yang memiliki ilmunya!" Jawab orang itu.

"Jika demikian, maka mengapa kita memberikan hak memilih pemimpin kepada setiap orang di negara ini?".

Inilah kearifan dan makna besar demokrasi. Memilih pemimpin dalam demokrasi bukanlah permainan hati dimana kita memilih berdasarkan emosi perasaan. Pemilihan dalam demokrasi membutuhkan keahlian, dan seperti keahlian yang lain, perlu diajarkan dan ditanamkan pada setiap warga negara secara sistematis. Itulah mengapa kita mempelajari mata pelajaran kewarganegaraan sejak bangku SD hingga majelis perkuliahan. Membiarkan rakyat memilih tanpa pengetahuan sama halnya seperti membiarkan tukang parkir menerbangkan pesawat terbang.

Yang terjadi di Indonesia saat ini adalah setiap warga negara, yang negara belum mampu memastikan pendidikan telah diberikan secara adil dan merata, diberikan hak pilih untuk memilih wakil-wakilnya di parlemen dan pemimpin-pemimpin di daerahnya. Kita telah memberikan hak suara tanpa dibekali kebijaksanaan dalam memilih. Dari sinilah permasalahan klasik demokrasi akan muncul, seorang pemimpin yang mampu menyetir emosi rakyat yang tidak berpengetahuan dalam sebuah kontes perebutan kekuasaan. Demagog.

Seorang demagog mampu mampu memberikan jawaban-jawaban sederhana atas permasalahan yang menyentuh kepentingan rakyat banyak. Dengan tutur kata indah dan retorika yang rapi nan tersusun, mudah bagi mereka menawarkan solusi-solusi sederhana yang terbungkus dalam kemasan menawan nan ciamik. Padahal kita tahu bahwa demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan yang terbagi-bagi, yang pemangku jabatannya mengemban kepentingan pemilihnya yang berjumlah ratusan hingga jutaan, yang mereka-pun memiliki aspirasinya masing-masing. Tidak ada solusi mudah dalam demokrasi, karena seperti itulah sistem ini didesain: mengakomodir setiap suara dan kepentingan golongan. Perlu sebuah kesepakatan dan kompromi untuk merumuskan sebuah solusi yang bisa diterima oleh semua.

Indonesia dalam pemilihan-pemilihan terakhir nampaknya mulai termakan oleh solusi-solusi mudah yang ditawarkan kepada para pemilih. Jikalau itu tidak cukup, kita mulai menuduh satu dengan yang lain dengan dasar kebencian atas kaum tertentu dan mengkambing-hitamkan kelompok lainnya. Inilah skenario terbaik para demagog dan pendusta di republik ini. Ketika rakyat bergelora emosi dan fanatismenya, itulah saat yang tepat mensetir rakyat ke arah yang para munafik ini inginkan. Indonesia perlu mulai kritis dalam menilai dan berhenti terbawa emosi dalam menentukan pilihan, karena sesungguhnya 5 tahun bukanlah waktu yang sebentar.

Yuka

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun