[caption id="" align="alignleft" width="320" caption="Dari depan ke belakang: Rura, Maya, Dhika, Jeremie. Peserta Mangkang International Camp (28 Agustus- 9 September 2013)"][/caption] Sejak 2012 lalu aku menjadi relawan Indonesia International Work Camp, atau yang lebih dikenal dengan nama IIWC. IIWC adalah organisasi non-profit non pemerintah yang menyelenggarakan kemah kerja internasional dalam rangka memperkuat nilai-nilai kerelawanan dan perdamaian dunia. Di IIWC aku dipercaya mengajar Bahasa Indonesia untuk relawan Long & Middle Term Volunteering (LMTV, relawan jangka panjang dan menengah) yang akan tinggal di Indonesia antara 2-6 bulan (jangka menegah) dan 6 bulan hingga satu tahun (jangka panjang). Dalam berbagai kegiatan Short Term Volunteering (STV, relawan jangka pendek antara 1 hari hingga 3 minggu) aku juga berpartisipasi aktif dengan menjadi Camp Leader (CL) setelah aku mengikuti Training for Camp Leader. Banyak hal yang ku dapatkan dengan menjadi relawan IIWC. Isu-isu yang diangkat oleh IIWC seperti Anak-anak jalanan, anak-anak di area prostirusi, lingkungan, warisan (heritage) dan budaya (culture) dan lainnya, membuka wawasanku. Membuatku sadar bahwa aku bisa melakukan sesuatu bagi sekitarku, masyarakatku. Aku jadi mempunyai kesempatan berdiskusi dengan pemuda-pemuda dari negara lain, bertukar pikiran dengan mereka. Berbagi pemikiran, tentang bagaimana mereka melihat suatu permasalahan. Kali ini aku ingin berbagi pengalamanku ketika menjadi CL pada bulan Agustus-September lalu. Hari itu adalah hari-hari pertama camp kami. (Aku lebih suka menggunakan kata camp bukan kemah, karena kata kemah dalam Bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih sempit, yaitu tempat tinggal darurat, tenda dan berkaitan dengan pramuka). Ini adalah camp keduaku di Mangkang, daerah utara perbatasan antara kota Semarang dengan Kendal. Kali ini aku ditemani oleh partner CL, Dhika dari Tegal, bersama tiga peserta camp, Jérémie dari Perancis, Ruta dari Lithuania dan Maya dari Jepang. Kami sedang beristirahat setelah mananam sekitar 1000 mangrove di tambak dekat pesisir pantai bersama kelompok lingkungan setempat. Disela-sela kami menunggu giliran membersihkan diri, sku bertanya pada Jèrèmie, kenapa ia datang ke Indonesia, ke Mangkang, panas-panasan, berkotor-kotor ria, tanpa koneksi internet, tinggal bersama orang asing di rumah yang tanpa kursi (Jérémie sering mengeluh lututnya sakit karena tak terbiasa duduk di lantai..haha :p ). Kenapa jadi relawan padahal dengan pengeluaran yang tak jauh beda dia bisa saja menikmati kota Semarang, menginap di hotel berbintang, jadi turis layaknya 'bule' pada umumnya? Dia pun menjawab sambil tertawa, "Ayolah, terkadang menyenangkan ketika kau tidak terhubung dengan dunia luar, tak ada telepon yang mengganggumu, tak ada berita yang membuatmu resah." kata Jérémie. Kemudian Jérémie  bercerita tentang kisahnya. Dia sedang dalam perjalanannya keliling Asia selama satu tahun. Meskipun sedang dalam liburan panjang, dia ingin perjalanannya bermakna, memiliki sisi lain. Setelah camp ini berakhir dia akan melanjutkan perjalanan ke Bromo dan Bali sebagai turis. Dan di hari-hari berikutnya kami ngobrol, baru aku ketahui bahwa dia dulu staff di organisasi sejenis IIWC di Paris. Ah..that's why he loves volunteering! :) Jérémie kemudian banyak menceritakan perjalanannya di blog pribadinya yang bisa kamu kunjungi di sini. Pertanyaan yang sama juga aku berikan pada Ruta. "Bagiku, inspirasi dan pembelajaran adalah kunci untuk memperkaya manusia itu sendiri. Terutama inspirasi dari budaya dan orang-orangnya, perilaku dan sikap mereka. Inspirasi yang membantu berkembangnya empati dan social-skill seseorang." kata Ruta. Sepertinya setelah beberapa hari tinggal di Mangkang, Ruta mulai terbiasa dengan kehidupan sederhana, yang segala sesuatunya dilakukan di lantai, (ini lebih karena tidak ada meja kursi di rumah relawan Mangkang! Haha :p ), di mana tetangga-tetangga sekitar rumah akan memanggil namamu setiap kau lewat - meskipun hanya untuk menanyakan mau ke mana. Aku bilang begitu karena ketika kami berkunjung ke Borobudur menikmati freeday kami, Ruta merasakan culture-shock. Dia bingung, kenapa banyak sekali orang berambut pirang, bercelana pendek dan berkalungkan kamera-kamera yang terlihat mahal. Dia tiba-tiba merasa tidak mengerti mengapa mereka di sini (Borobudur). Ruta lupa bahwa dia sekarang ada di salah satu tujuan wisata yang wajib di kunjungi di Indonesi, bukan lagi berada di desa antah berantah. Haha.. Sekembalinya Ruta ke Swiss tempat dia bekerja, akhirnya dia menulis juga tentang pengalamannya menjadi relawan di Indonesia karena saking banyak teman dan keluarganyanya di sana yang bertanya-tanya bagaimana liburannya di Indonesia. Blog Ruta bisa kamu kunjungi di sini Di kesempatan yang lain, aku bertanya kepada Maya. Berkomunikasi dengan peserta termuda kami (19th) ini butuh cara yang unik. Bahasa Inggrisnya tidak begitu lancar, jadi aku harus mereka-reka apa yang ingin dia sampaikan. Sebenarnya dia seperti kebanyakan pelajar di Indonesia yang mengerti apa yang lawan bicaranya katakan, tapi kesulitan ketika ingin menyampaikan jawaban atau tanggapan. [caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Kunjungan ke SMP N 28, salah satu SMP yang berada disekitar wilayah kami melakukan kegiatan. Foto diambil oleh Putri."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H