Mohon tunggu...
Yunita Nurcahya Saputri Putri
Yunita Nurcahya Saputri Putri Mohon Tunggu... -

seperti spons, saya ingin menyerap semua pengetahuan baru.. :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kenapa Relawan?

10 Desember 2013   00:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:07 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari depan ke belakang: Rura, Maya, Dhika, Jeremie. Peserta Mangkang International Camp (28 Agustus- 9 September 2013). Gambar diambil oleh Putri

[caption id="" align="alignleft" width="320" caption="Dari depan ke belakang: Rura, Maya, Dhika, Jeremie. Peserta Mangkang International Camp (28 Agustus- 9 September 2013)"][/caption] Sejak 2012 lalu aku menjadi relawan Indonesia International Work Camp, atau yang lebih dikenal dengan nama IIWC. IIWC adalah organisasi non-profit non pemerintah yang menyelenggarakan kemah kerja internasional dalam rangka memperkuat nilai-nilai kerelawanan dan perdamaian dunia. Di IIWC aku dipercaya mengajar Bahasa Indonesia untuk relawan Long & Middle Term Volunteering (LMTV, relawan jangka panjang dan menengah) yang akan tinggal di Indonesia antara 2-6 bulan (jangka menegah) dan 6 bulan hingga satu tahun (jangka panjang). Dalam berbagai kegiatan Short Term Volunteering (STV, relawan jangka pendek antara 1 hari hingga 3 minggu) aku juga berpartisipasi aktif dengan menjadi Camp Leader (CL) setelah aku mengikuti Training for Camp Leader. Banyak hal yang ku dapatkan dengan menjadi relawan IIWC. Isu-isu yang diangkat oleh IIWC seperti Anak-anak jalanan, anak-anak di area prostirusi, lingkungan, warisan (heritage) dan budaya (culture) dan lainnya, membuka wawasanku. Membuatku sadar bahwa aku bisa melakukan sesuatu bagi sekitarku, masyarakatku. Aku jadi mempunyai kesempatan berdiskusi dengan pemuda-pemuda dari negara lain, bertukar pikiran dengan mereka. Berbagi pemikiran, tentang bagaimana mereka melihat suatu permasalahan. Kali ini aku ingin berbagi pengalamanku ketika menjadi CL pada bulan Agustus-September lalu. Hari itu adalah hari-hari pertama camp kami. (Aku lebih suka menggunakan kata camp bukan kemah, karena kata kemah dalam Bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih sempit, yaitu tempat tinggal darurat, tenda dan berkaitan dengan pramuka). Ini adalah camp keduaku di Mangkang, daerah utara perbatasan antara kota Semarang dengan Kendal. Kali ini aku ditemani oleh partner CL, Dhika dari Tegal, bersama tiga peserta camp, Jérémie dari Perancis, Ruta dari Lithuania dan Maya dari Jepang. Kami sedang beristirahat setelah mananam sekitar 1000 mangrove di tambak dekat pesisir pantai bersama kelompok lingkungan setempat. Disela-sela kami menunggu giliran membersihkan diri, sku bertanya pada Jèrèmie, kenapa ia datang ke Indonesia, ke Mangkang, panas-panasan, berkotor-kotor ria, tanpa koneksi internet, tinggal bersama orang asing di rumah yang tanpa kursi (Jérémie sering mengeluh lututnya sakit karena tak terbiasa duduk di lantai..haha :p ). Kenapa jadi relawan padahal dengan pengeluaran yang tak jauh beda dia bisa saja menikmati kota Semarang, menginap di hotel berbintang, jadi turis layaknya 'bule' pada umumnya? Dia pun menjawab sambil tertawa, "Ayolah, terkadang menyenangkan ketika kau tidak terhubung dengan dunia luar, tak ada telepon yang mengganggumu, tak ada berita yang membuatmu resah." kata Jérémie. Kemudian Jérémie  bercerita tentang kisahnya. Dia sedang dalam perjalanannya keliling Asia selama satu tahun. Meskipun sedang dalam liburan panjang, dia ingin perjalanannya bermakna, memiliki sisi lain. Setelah camp ini berakhir dia akan melanjutkan perjalanan ke Bromo dan Bali sebagai turis. Dan di hari-hari berikutnya kami ngobrol, baru aku ketahui bahwa dia dulu staff di organisasi sejenis IIWC di Paris. Ah..that's why he loves volunteering! :) Jérémie kemudian banyak menceritakan perjalanannya di blog pribadinya yang bisa kamu kunjungi di sini. Pertanyaan yang sama juga aku berikan pada Ruta. "Bagiku, inspirasi dan pembelajaran adalah kunci untuk memperkaya manusia itu sendiri. Terutama inspirasi dari budaya dan orang-orangnya, perilaku dan sikap mereka. Inspirasi yang membantu berkembangnya empati dan social-skill seseorang." kata Ruta. Sepertinya setelah beberapa hari tinggal di Mangkang, Ruta mulai terbiasa dengan kehidupan sederhana, yang segala sesuatunya dilakukan di lantai, (ini lebih karena tidak ada meja kursi di rumah relawan Mangkang! Haha :p ), di mana tetangga-tetangga sekitar rumah akan memanggil namamu setiap kau lewat - meskipun hanya untuk menanyakan mau ke mana. Aku bilang begitu karena ketika kami berkunjung ke Borobudur menikmati freeday kami, Ruta merasakan culture-shock. Dia bingung, kenapa banyak sekali orang berambut pirang, bercelana pendek dan berkalungkan kamera-kamera yang terlihat mahal. Dia tiba-tiba merasa tidak mengerti mengapa mereka di sini (Borobudur). Ruta lupa bahwa dia sekarang ada di salah satu tujuan wisata yang wajib di kunjungi di Indonesi, bukan lagi berada di desa antah berantah. Haha.. Sekembalinya Ruta ke Swiss tempat dia bekerja, akhirnya dia menulis juga tentang pengalamannya menjadi relawan di Indonesia karena saking banyak teman dan keluarganyanya di sana yang bertanya-tanya bagaimana liburannya di Indonesia. Blog Ruta bisa kamu kunjungi di sini Di kesempatan yang lain, aku bertanya kepada Maya. Berkomunikasi dengan peserta termuda kami (19th) ini butuh cara yang unik. Bahasa Inggrisnya tidak begitu lancar, jadi aku harus mereka-reka apa yang ingin dia sampaikan. Sebenarnya dia seperti kebanyakan pelajar di Indonesia yang mengerti apa yang lawan bicaranya katakan, tapi kesulitan ketika ingin menyampaikan jawaban atau tanggapan. [caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Kunjungan ke SMP N 28, salah satu SMP yang berada disekitar wilayah kami melakukan kegiatan. Foto diambil oleh Putri."]

Kunjungan ke SMP N 28, salah satu SMP yang berada disekitar Mangkang tempat kami melakukan kegiatan. Gambar diambil oleh Putri.
Kunjungan ke SMP N 28, salah satu SMP yang berada disekitar Mangkang tempat kami melakukan kegiatan. Gambar diambil oleh Putri.
[/caption] Bagi Maya, ini adalah kali pertamanya dia ke luar negeri sendirian. Ketika aku tanya apa dia tidak takut, apa orang tuanya tidak khawatir, dia bilang awalnya dia takut dan tentu saja orang tuanya khawatir. Tapi setelah melihat orang Indonesia yang ramah, para peserta camp ini yang sangat membantu, dia tak khawatir lagi. Dalam surat cinta (surat perpisahan) yang dia tulis untukku, dia menyebutkan bahwa dia khawatir bagaimana dia bisa melewati dua minggu camp kami. "Tak ada orang Jepang dan peserta lainnya sangat pandai berbahasa Inggris. Tapi semuanya mengajakku bicara, dan baik padaku. Dan kamu sering menggunakan kata-kata dalam bahasa Jepang (meskipun terdengar lucu). Aku sangat senang." Surat itu disertai gambar yang mirip denganku. **** Sebenarnya pertanyaan itu pernah ditujukan padaku, ketika aku menjadi CL di Malaysia World Heritage Volunteer - WHV Camp di Malaka selama dua minggu, dua minggu sebelum camp di Mangkang ini. Saat itu teman sekamarku, Lia dari Malaysia, bertanya kepadaku. Kenapa aku mau jauh-jauh datang dari Indonesia, bersusah-susah dengan uang sendiri, untuk mengangkuti genting, membantu pembangunan masjid, berpanas-panas merawat kota Melaka, kota orang lain? "Kamu tahu tidak, Putri. Saya malu. Kalian beramai-ramai membantu melakukan sesuatu untuk kota kami, sedangkan kami.. Di sini susah sekali menemukan pemuda untuk menjadi relawan." Saat itu memang hanya ada sekitar 15 relawan dari Malaysia, itu pun tak setiap hari datang. Yang mengikuti aktifitas dari hari pertama hingga terakhir bisa dihitung dengan satu tangan. Sedangkan China mengirimkan 30 relawan dan Indonesia 26 relawan [caption id="" align="alignnone" width="700" caption="Relawan Indonesia dan China diberi instruksi bagaimana mengepel lantai masjid yang sudah berusia ratusan tahun. Masjid Kampung Hulu, Melaka Malaysia. Foto diambil dari Press Release IIWC."]
Relawan Indonesia dan China diberi instruksi bagaimana mengepel lantai masjid yang sudah berusia ratusan tahun. Masjid Kampung Hulu, Melaka Malaysia. Foto diambil dari Press Release IIWC.
Relawan Indonesia dan China diberi instruksi bagaimana mengepel lantai masjid yang sudah berusia ratusan tahun. Masjid Kampung Hulu, Melaka Malaysia. Foto diambil dari Press Release IIWC.
[/caption] Ketika mendengar 'curhatan' Lia, aku jadi berkata pada diri sendiri, apakah ketika menanyakan hal yang sama pada relawan asing di Indonesia, aku akan mendapati alasan yang sama untuk malu, untuk bersedih? Aku harap tidak! Semoga makin hari makin banyak anak muda Indonesia yang menjadi relawan! *** Dari menjadi relawan, aku mendapat pemahaman baru tentang sesuatu. Dari menjadi relawan akumendapat teman baru, keluarga baru. Menjadi relawan muda membuat hidupku lebih berarti dan berwarna. Jadi, ayo jadi relawan muda! :) Selamat Hari Relawan Internasional 5 Desember! Viva Volunteer! :D [caption id="" align="alignnone" width="206" caption="Join Us!"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun