Mohon tunggu...
Yuher Gusman
Yuher Gusman Mohon Tunggu... profesional -

-seorang pelajar-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merdekalah Indonesia: Catatan di Sudut Metromini

17 Agustus 2012   03:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:38 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkah saya terhenti, urung masuk ke Metromini 72 yang biasa mengantar pulang ke rumah. Sekelompok makhluk kecil usai 10 tahunan bahkan mungkin lebih kecil memenuhi area depan metromini. Bukan kehadiran mereka tentunya yang membuat saya urung naik, namun benda yang berada di tangan mereka. Begitu santai dan nikmatnya, mereka menghisap sebatang rokok. Bukan sebatang untuk bersama, bukan, namun sebatang satu orang! Bisa dibayangkan pengapnya ruangan metromini kala itu. Pak supir yang merokok saja sudah membuat saya menyumpah-nyumpah di dalam hati, apalagi ini segerombolan anak-anak ingusan! Miris sekali rasanya... Kemana para orang tua? Di mana kontrol sosial? Orang-orang yang ada di dalam pun tidak ada yang peduli. Pun saya, saya malah pindah ke metromini lain, dengan resiko sampai rumah lebih malam. Ya... warga Jakarta sudah sama-sama tahulah, kalau metromini itu shif-shif-an dan ngetemnya... benar-benar melatih kesabaran. Sudahlah lama... dikendarai dengan super ngebut-ngebutan (benar-benar nyawa di dalam nggak ada harganya)... banyak tukang minta-minta dengan hobi mengancam.

Pindah ke Metromini satunya, pandangan menyayat hati kembali terhampar. Seorang anak kecil, usianya mungkin hanya 5 tahun, naik bersama adiknya yang berusia kurang dari dua tahun. Si adik didudukan di depan, dan dia dengan lihai memainkan gitar kecilnya mendendangkan lagu dewasa. Penampilannya luar biasa dan tak sedikit yang mengapresiasi dengan lebaran-lembaran ribuan. Saya pun sempat ragu waktu itu... kasih atau tidak. Karena saya sudah bertekad untuk tidak akan memberikan uang kepada orang-orang di jalan. Kemurahan hati orang-orang jadikan mereka "betah" menggantungkan nasib di jalan, dan saya tidak mau itu terus menerus terjadi. Saya lebih prefer menyerahkan sumbangan ke teman-teman yang nyata-nyata mengelola yayasan untuk pemberdayaan anak-anak jalanan. Atau rumah-rumah zakat yang sudah terpercaya.

Si Adik berlalu... mengendong adiknya yang menangis. Potret-potret kemiskinan hadir di depan saya dengan silih berganti hingga akhirnya sampai di rumah. Malam-malam sebelumnya bahkan lebih miris lagi, saat saya pulang dari Mesjid BI jam 12 malam (kondisi yang memaksa saya untuk segera pulang, padahal rencananya mau itikaf :P). Memasuki jalan Radio Dalam, sepanjang jalannya pengemis-pengemis dan pemulung menggelar karton, berderetan mengistirahatkan badan menunggu esok datang.

Indonesia?

Inikah gambaran hidupmu?

Pemaparan di atas basi emang... atau bahkan sudah sangat umum sekali. Semua orang sudah tahu. Saya dari kecil juga sudah tau kondisi seperti itu. TAPI... MENGAPA TIDAK ADA PERUBAHAN SAMA SEKALI??? DI NEGARA YANG KATANYA SUDAH MERDEKA SELAMA 67 TAHUN?? Kenapa jumlah anak-anak di jalanan semakin meninggi, bahkan sudah dikelola oleh sindikat-sindikat perdagangan orang. KENAPA?

Kemana negara yang seharusnya melindungi orang-orang lemah seperti itu? Jangan bilang para pejabat tidak tau kondisi itu karena TIDAK PERNAH NAIK METROMINI!

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun