Aku menoleh ke arah jendela di lantai atas; nomor dua dari kiri. Belum tampak adanya pergerakan. Tirai kusam berwarna kuning pucat itu masih tergantung dengan tenang di balik kacanya yang telah berdebu tebal. Aku kembali bersandar pada pagar besi rendah pembatas jembatan. Suasana di sini terasa sunyi dan hening.
Sudah dua hari ini aku merasa ada yang selalu memerhatikanku dari atas sana. Tetapi setiap aku menoleh, selalu saja yang kulihat hanya sepotong tirai yang melambai seperti baru saja ditinggalkan oleh orang yang menyibaknya untuk memandang ke luar. Hal yang sangat aneh, karena seharusnya tidak ada siapa-siapa di dalam rumah itu.Â
Rumah itu memang terkenal angker. Sebuah rumah tua peninggalan zaman Belanda yang beberapa tahun lalu sempat ditinggali oleh keluarga yang kabarnya masih merupakan keturunan pemilik aslinya, namun entah mengapa hanya bertahan selama beberapa minggu sampai suatu malam seluruh anggota keluarga itu pergi dengan tergesa-gesa dan tak pernah kembali lagi.Â
Sejak aku menyewa kamar kos di daerah ini saat mendapatkan panggilan kerja setahun lalu, aku selalu melewati jembatan kecil yang melintang tak jauh di depan rumah yang dikenal angker itu, dan tak pernah sekalipun aku melihat hal-hal aneh seperti yang ditakuti oleh warga sekitar. Aku tak percaya pada hal-hal mistis seperti itu. Tetapi entah kenapa, kali ini aku merasa yakin, bahwa memang ada sebuah aktivitas yang tak normal di dalam rumah itu.Â
Maka saat ini aku memutuskan untuk menunggu, dan tidak melepaskan pandangan sedikitpun. Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa mataku tidak melakukan kesalahan saat melihat tirai itu bergerak.Â
Dan saat aku sedang memicingkan mata menembus kegelapan di balik kaca jendela itu, tiba-tiba sepotong tangan putih pucat muncul.Â
Aku terkesiap. Darahku berdesir ke seluruh tubuh.Â
Tangan pucat itu menyibak perlahan tirai kusam yang tergantung menutupi setengah kaca jendela. Lalu di belakang tangan pucat itu tampaklah bayangan sesosok tubuh yang berdiri agak jauh dari ambang jendela.Â
Tubuhku mulai gemetar. Kakiku kaku tak dapat digerakkan.Â
Kemudian sosok itu menjulurkan tangannya yang lain, dan melambai pelan. Ke arahku. Seperti memanggil. Dan kemudian mendadak ia menghilang dari jendela; meninggalkan sekelebatan tirai yang bergerak melambai.
Aku mengembuskan napas yang tanpa sadar tertahan sejak tadi; menetralkan kembali denyut jantung yang menggila sesaat. Kemudian memaksakan diri untuk berpikir dengan logika.Â
Kalau sosok itu memang hantu, seharusnya ia tak bisa menyentuh benda padat bukan? Lalu mengapa tirai itu bergerak saat disentuh olehnya? Tetapi kalau ia manusia, siapa dia? Gelandangan yang diam-diam mencari tempat bernaung di dalam rumah kosong? Tetapi mengapa ia tadi sepertinya memanggilku? Ya, aku yakin ia melambaikan tangan ke arahku, karena tak ada siapapun lagi di atas jembatan ini. Hanya ada aku.
 Setelah kakiku kembali dapat digerakkan, aku segera beranjak dari tempat itu dengan benak dipenuhi berbagai pertanyaan.
   ~o0o
 Aku kembali berdiri memandang ke arah rumah angker itu, saat senja telah berlalu.Â
Jembatan yang dulunya ramai dilalui oleh para pejalan kaki dan sepeda motor ini, entah mengapa sekarang berubah menjadi sepi. Mungkin karena sudah ada jalur lain yang lebih disukai oleh masyarakat sekitar untuk melintas; atau jangan-jangan, mereka semua sudah melihat penampakan di dalam rumah angker itu beberapa hari ini sehingga tak ada lagi yang berani melewati jalan ini. Sebagai anak kos yang tinggal sendirian, aku tak banyak berinteraksi dengan warga sekitar, sehingga kemungkinan besar aku akan tertinggal berbagai berita terkini.Â
Aku benar-benar tak mengerti dengan diriku sendiri. Di satu sisi aku merasa sangat takut, tetapi di sisi lain aku sangat penasaran.Â
Mungkin aku terlalu banyak menonton film horror yang menceritakan tentang arwah penasaran yang membutuhkan pertolongan. Di dalam cerita itu biasanya si pemeran utama pada awalnya akan merasa ketakutan, tetapi karena kebaikan dan ketabahan hatinya, akhirnya ia bisa mengalahkan rasa takutnya dan membantu arwah tersebut untuk pergi ke dunianya. Yah, meskipun ada juga cerita yang berakhir tragis karena sang arwah ternyata adalah arwah jahat yang ingin membawa korban ke alam kematian.
 Dan tiba-tiba, sosok itu kembali muncul di balik jendela.Â
Kali ini ia terlihat lebih jelas.Â
Ia perempuan.Â
Aku dapat melihat gaunnya yang berwarna putih, rambutnya yang panjang menutupi kedua sisi wajahnya, kedua relung matanya yang cekung dan gelap, serta bibirnya yang pucat pasi. Ia kembali mengangkat tangan dan melambai ke arahku; kali ini dengan gerakan lebih tegas, seolah memaksaku untuk datang.
 Aku tak tahu harus berbuat apa. Kalaupun rumah itu tak terkunci, tak mungkin aku berani masuk ke dalam rumah itu. Dengan memandangnya dari bawah sini saja sudah membuat tubuhku lumpuh seketika, apalagi jika harus berinteraksi langsung dengan makhluk yang kini aku sadar betul, adalah sosok hantu.
 Dan hantu itu masih saja berdiri di sana, bahkan semakin mendekat pada kaca jendela. Matanya melotot, bibirnya pucatnya perlahan membuka lebar, menampakkan rongga gelap di baliknya. Ia mengangkat kedua tangannya dan melakukan gerakan-gerakan seperti sedang berusaha menyampaikan sesuatu kepadaku.Â
Kutahan sekuat tenaga rasa takutku melihat penampakannya yang demikian mengerikan, sembari berpikir apa yang harus kulakukan.Â
Haruskah aku berlari ke dalam rumah itu dan menolongnya? Atau bagaimana?
Tiba-tiba terdengar suara keributan di ujung jembatan.Â
Serombongan orang-orang, yang sepertinya warga sekitar, berjalan beramai-ramai dipimpin oleh seorang laki-laki berwajah garang dengan pakaian serba hitam, ikat kepala bermotif lurik dan membawa benda-benda aneh dalam genggamannya.Â
Ada apa gerangan?
 Aku menoleh kembali ke arah jendela rumah angker itu. Sang hantu perempuan masih ada di sana, dan terlihat semakin mengerikan dengan matanya yang semakin membelalak serta mulutnya yang membuka semakin lebar. Kedua lengannya menggapai-gapai putus asa.Â
Laki-laki berpakaian serba hitam itu tiba di depanku. Dan menunjuk tepat ke wajahku.Â
Aku terkesiap.Â
Mulut laki-laki itu berkomat-kamit dengan cepat.Â
Kemudian ia melemparkan sesuatu ke arahku. "Pergi! Pergi kau!" ucapnya kasar.Â
Sebelum sempat bertanya apa-apa, mendadak aku merasakan ada yang aneh pada tubuhku.Â
Aku merasa seolah melayang. Aku dapat merasakan ujung-ujung jari tanganku, jari-jari kakiku, dan puncak kepalaku seolah meregang. Seperti ada yang sedang berusaha melepaskan diri sedikit demi sedikit. Sebagian-sebagian kecil dari kepadatanku perlahan mulai melepaskan diri dan berbaur dengan udara. Aku merasa gamang diantara teriakan-teriakan dari para warga kampung yang berkerumun mengelilingiku.Â
 Dan mendadak muncul sepotong tangan berwarna putih pucat yang langsung mencengkeram pergelangan tanganku, dan menarikku dengan cepat ke atas; seperti terbang.Â
Aku tak sempat menyadari apa yang terjadi. Dan tiba-tiba saja aku sudah berada di dalam sebuah ruangan yang besar dan gelap.Â
Aku mengerjap-ngerjapkan mata; berusaha menyesuaikan penglihatanku dengan kegelapan ini.Â
Dan aku melihatnya.
 Hantu perempuan itu berdiri di hadapanku.Â
"Untunglah kau selamat," suara bisikan yang membangkitkan bulu roma itu keluar dari sela bibir pucatnya. "Hampir saja kau dihabisi oleh dukun itu."
 "Ap... apa...?" Aku tergagap tak mengerti.
 "Kau belum sadar juga, ya? Padahal aku sudah berusaha memanggilmu berkali-kali." Senyum mengerikan tersungging di wajah sang hantu. "Untuk tinggal di sini menemaniku."
 "T... tidak!" Aku bergerak mundur menjauhinya, dan tubuhku membentur kaca jendela.Â
Aku melihat ke luar; ke arah jembatan kecil itu untuk berteriak meminta pertolongan.Â
Dan sepotong ingatan tiba-tiba merasuki pikiranku.Â
Saat sepeda motor yang kukendarai sepulang bekerja tergelincir di atas aspal licin bekas air hujan, dan kepalaku yang tak terlindungi apa-apa membentur pagar rendah pembatas jembatan dan tercebur ke dalam sungai berarus deras di bawahnya. Â
"Sudah ingat kembali?" Hantu perempuan itu mendekatiku. "Jadi, kau mau kan, tinggal di sini menemaniku?"
 Aku melihat ke luar, ke arah keramaian yang masih terjadi di bawah sana.Â
Di mana sang dukun berbaju hitam masih menabur-naburkan sesuatu ke segala arah, diiringi teriakan-teriakan kelegaan warga yang merasa senang karena jembatan yang biasa mereka lalui itu kembali tenang dan aman seperti sediakala.
Lalu kutatap pantulan wajahku pada kaca jendela bertirai kusam ini.Â
Wajah pucat dengan kedua mata cekung dan kepala berlumuran darah kering.
Kemudian aku menoleh kepada sang hantu.Â
Dan mengangguk.
Â
~o0o~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H