Kupandangi cincin perak yang terselip dalam lipatan beludru merah itu. Kubelai lembut permukaannya yang halus dan terasa dingin, setelah terkurung dalam laci kayu tertutup selama bertahun-tahun. Benakku bertanya-tanya apakah benda ini masih dapat kulingkarkan di jari manisku seperti dulu.Â
Ingatanku mengilas balik ke masa lalu. Terlalu banyak memori indah yang terekam di cincin ini. Masa perkenalan, hari-hari bahagia, dan kenangan-kenangan manis bersamanya yang tak dapat terulang lagi.Â
Aku mendesah dan memasukkan kembali benda mungil itu ke dalam kotaknya.
"Sedang apa kamu?" sebuah suara dari belakang mengejutkanku.
"Eh... Mas..." jawabku gugup tanpa sempat menyembunyikan kotak di tanganku.
Mas Dani mengambil kotak itu dan langsung membukanya. Wajahnya memerah seketika. "Kamu masih simpan benda murahan ini?"
"Kok kamu bilang begitu sih," protesku, "itu kan cincin pertama yang diberikan oleh mantan pacarku. Aku tidak peduli harganya. Yang penting itu, niatnya."
Mas Dani tertawa. "Iya, waktu itu aku belum mampu beli cincin yang mahal buat kamu. Tapi waktu kita menikah kan, sudah aku belikan yang lebih bagus. Tuh, yang kamu pakai di jari kamu."
"Iya." Aku memandangi lingkaran emas putih di jari manisku; cincin pernikahan kami. "Tapi aku tetap akan menyimpan cincin perak ini. Karena banyak kenangan manis masa pacaran yang sudah tidak bisa kita ulang lagi."
"Hmm. Yang sudah lalu memang sudah tidak bisa diulang lagi. Tapi sekarang kita bisa kok, membuat kenangan-kenangan baru lagi, untuk diingat di masa depan." Mas Dani tersenyum sembari merangkul bahuku. "Yuk, berangkat. Katanya mau merayakan anniversary kita?"
Aku membalas senyumnya dan meyimpan kembali cincin kenangan itu di dalam lemari. "Yuk," ucapku, "nonton film apa kita malam ini?"