Kata orang-orang, kau telah ada sejak lama.
Sudah tua sekali.
Kau ada saat nama desa kami diputuskan sembarangan oleh sesepuh desa yang kebingungan menyambut kedatangan tiba-tiba para petugas pendata kewarganegaraan.
Waktu pasukan pejuang pulang membawa ratusan kebanggaan sekaligus ribuan torehan luka membekas di sanubari.
Kau adalah saksi hidup peristiwa kalahnya komplotan perampok legendaris oleh jagoan-jagoan desa yang menumpahkan banyak darah kematian.
Sisa-sisa makhluk terselamatkan dari amukan puting beliung yang meluluhlantakkan seluruh penjuru desa beserta penghuninya.
Â
Kata ibu, kau membuatnya lelah karena harus berjalan memutar sampai jauh setiap pulang pergi ke pasar.
Kata Bu Guru, kau mempengaruhi murid-murid menjadi nakal dan malas belajar.
Kata Pak Mantri, kau menebar penyakit pada semua orang.
Kata Mbak Sri, kau penyebab kekasih hatinya tak kunjung datang kembali.
Kata Darto, kau menghilangkan akal sehat adik semata wayangnya setelah  bermain petak umpet di balik cabang terendahmu saat senja turun.
Kata Pak Hansip, kau jahat pada Pak Umar karena telah membuat kakinya terpotong mata pisau yang meleset tak mampu menembus kerasnya tubuh kokohmu.
Kata Nek Bayah, kau mengacaukan keseimbangan energi di udara.
Kata Pak Kepala Desa, kau menggagalkan panen sawah dan merusak hasil kebun.
Kata bapak, kau sumber kesialan nasib penduduk desa.
Kata nenek, kau ada penunggunya.
Kata kakek, kau adalah kutukan bagi kami.
Â
Tetapi ... sosokmu terlihat begitu sedih dari bawah sini.
Sendiri.
Sepi.
Kau ... pasti sangat tersiksa ya ?
Tak henti mendengar rentetan fitnah dramatis dari bibir-bibir kering bergincu demi sekedar memeriahkan suasana desa yang tak pernah ramai.
Didera hunjaman kebencian manusia-manusia sombong yang marah karena tak bisa menundukkanmu demi menuai banyak pujian.
Anak-anak kecil berlari kesetanan seolah teror gelapmu mengejar kemanapun mereka berlari dan mencari dimanapun mereka bersembunyi.
Para pengumbar sensasi menggambarkan penampakan tak nyata yang sesungguhnya hanyalah sepotong kecil ilusi murahan dari sudut terdalam pikiran gelapnya.
Kekuatan buruk yang dipindahkan dari  tempat asalnya silih berganti dijejalkan dalam pori-porimu dengan mengatasnamakan keselamatan makhluk lain.
Â
Mereka memang tak mengerti.
Sama sekali tak mengerti.
Mereka tak tahu rasanya seumur hidup menghadapi tangan- tangan keji yang memetiki dedaunan dan mematahkan rantingmu sembari meracau demi mendapat jawaban atas masalah pelik sesaat mereka.
Kaki-kaki kebingungan yang meninggalkan jejak nestapa  pada akar-akar besarmu dan meresapkan getir kepiluan disana.
Jiwa-jiwa putus asa yang mengikatkan leher eterik mereka pada dahanmu untuk terus bisa meratapi getirnya nasib sampai ke ujung masa.
Jerit keletihan ruh-ruh tersesat yang berusaha mencari jalan keluar tanpa hasil dari lingkaran sesal tak berujung.
Â
Kau tak tahu kepada siapa harus mengadu.
Tak ada teman untuk berbagi.
Tiada jurang dalam nan curam untuk melontarkan kembali segala limpahan emosi yang merasuki tiap inci lembar sukmamu tanpa bisa kau tolak.
Tak kuasa menjerit demi sekedar mengurangi beban pahit yang dialirkan seenaknya dalam urat-urat pembuluh jantungmu.
Â
Padahal ...
Kaulah yang sebenarnya menderita.
Kaulah korbannya.
Kau sama sekali tak bersalah.
Ini salah mereka.
Â
Kau ... mau kubantu melepaskan rasa sakit tak berkesudahan ini ?
Mau kubebaskan dari belenggu ketidakadilan yang bertubi ini ?
Aku mengerti penderitaanmu.
Aku memahami kesedihanmu.
Akan kupastikan kau mendapat tempat lain yang lebih baik.
Lebih menyenangkan dan lebih nyaman untuk meneruskan perjalanan hidupmu.
Karena kau punya hak hidup.
Hak untuk hidup bahagia.
Kau ... mau kan ?
Â
***Â
Â
Â
"Pak, Bu, sudah pada dengar belum ?"
"Sudah ! Saya sudah lihat ! Sudah tidak ada !"
"Apa ? Apanya yang sudah tidak ada ?"
"Pohon keramat itu ya ?"
"Iya, pohon keramat itu sudah ditebang !"
"Ah, yang benar ??"
"Siapa yang bisa ?"
"Supri !"
"Ha ? Â Supri ?"
"Supri yang anaknya Marni sama Kasdi ? Â Yang paling kecil ?"
"Iya, Supri. Muridnya Bu Maimunah."
"Iyaa. Hebat itu anak ! Sakti betul dia !"
"Masih kelas enam SD lho, kalau tidak salah ?"
"Betul ? Si Supri yang itu ?"
"Padahal selama ini sudah banyak yang datang kemari dan mengaku-ngaku sakti. Tapi tak ada satu orangpun yang berhasil menebang pohon keramat itu. Coba bayangkan ! Â Sudah puluhan tahun lho, tidak ada yang berhasil !"
"Padahal anaknya pendiam begitu. Badannya kecil pula. Kok bisa ya ?"
"Kemarin memang ada yang bilang katanya melihat Si Supri berdiri lama sekali di bawah pohon itu sambil komat kamit. Dikira bakal kesurupan. Eeh, tidak lama kemudian malah dia tebang itu pohon !"
"Ooo, waktu komat-kamit itu pasti sedang baca mantra ya ?"
"Iya, iya, betul. Malah katanya sampai dipeluk-peluk segala itu pohon. Aneh ya ?"
"Waduh, masa sih ? Â Saya saja setiap lewat di depan pohon itu, perasaan langsung tidak enak. Merinding seluruh badan. Si Supri malah berani memeluk ? Benar-benar sakti !"
"Tak disangka ternyata kesaktiannya tinggi sekali ya dia. Kalau tidak, mana mungkin bisa mengalahkan penunggu pohon tua itu."
"Berguru dimana ya Si Supri ? Â Saya juga mau kalau bisa sesakti itu."
"Eh, eh, kabarnya potongan-potongan kayunya nanti mau dijadikan perabot rumah lho ? Â Berani sekali !"
"Ih. Masa ? Kenapa tidak dibakar saja sih ? Â Memangnya tidak takut kualat apa ? Kalau saya sih tidak akan mau menyimpan barang seperti itu dirumah."
"Yah, biar saja lah. Yang penting sekarang desa kita tidak akan dijuluki sebagai desa angker lagi. Betul kan ?"
"Betuul !"
Â
Â
END.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H