Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya.” (Q.S. Ar Ra’du:11)
Ada goncangan yang mengoyak isi kepalaku dan menghantam syaraf pendengaranku setiap kali menaiki usiaku yang bertambah satu, seakan sedang berbenturan dengan awan hitam yang bergulung-gulung. Ada rasa pusing yang menghampiri setiap kali mencoba melihat peristiwa masa yang lalu, menoleh ke belakang yang segala sesuatunya menjadi sangat kerdil.
Inilah hariku. Cerita kemarin terangkai darimu dan teruntukmu. Terima kasih.
Untuk setiap yang akan dan telah melewati usia duapuluh enam tahun sepertiku.
Untuk yang memiliki sedikit kesabaran mejelajahi cakrawalanya.
Untuk yang mempunyai cukup keberanian membaca dan memahami realitas telanjang di dunia maya.
Untuk yang tak mampu lagi melihat kebaikan berwarna putih dan kejahatan berpakaian hitam.
Untuk yang meyakini bahwa satu tambah satu, sesekali tidak sama dengan dua.
Untuk yang menganggap bahwa kekurangan dan kelemahan manusia terletak pada kekhilafan dan keterbatasan.
Kita ini berasal dari tanah, dan akan kembali ke tanah. Kita tidak tahu siapa yang akan selamat jika sudah pada saat bertemu dengannya.
Ia sungguh nyata dan begitu dekat, lebih dekat dari bayang-bayang khayalan. Kita terlelap meninggalkannya di tengah kesenangan semu, di tengah tanah berlumpur noda, dan kita campakkan di tengah perjalanan.
Inilah waktuku, perjalananku menuju sirna, tentang kematian perlahan-lahan datang mendekati di saat kehidupan disemaikan. Mungkin, inilah terminal akhir riwayat hidupku. Setiap detik ia mengintai.
Hari ini, aku mendapatkan tumpukan mawar merah, selusin melati, dan sejuta bunga kamboja, di setiap ujung tangkainya tersemat sebuah kertas seukuran kartu nama bertuliskan :
“ANDA BERIKUTNYA!”
: aku sedang menunggu antrian
(dan hari ini aku lebih dekat dengan kematian)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H