Rizal De Loesie
Dentang jam 15.00Â siang, dari serpihan hitam awan melingkar disemua sudut pandang mata, menjadikan kristal bening perlahan turun gemercik, kian lama kian deras sederas gumuruh dipangkuan bathin yang melanda pinggiran rindu. Lelaki itu tertegun menatap dasar cangkir kopi, menggoyangnya seakan mencari sari dunia yang tak ditemukannya, yang telah lama ia pendam di muara jiwa yang terhampar pasrah.
Dia tersenyum, saat desau hujan kian deras.... sudah ratusan hujan dilupakannya, sekian lusin jam yang dia biarkankan mengalir begitu saja sampai keufuk barat, berharap disanalah matahari akan mengeringkan setiap lukanya.
Ia punguti serpihan-serpihan waktu yang telah terinjak, serpihan yang telah ia kantongi dan sisanya adalah waktu yang tak pernah ia tahu. Serpihan itu ia keluarkan dari kantong kenangan yang sempat membuat tersenyum seperti saat ini.
Hujan kian deras, tapi menghangat kedua pipi lelaki itu, air airmata, betapa kerinduannya, betapa kenangannya terbangun bagai mercusuar menyala di atas bukit memberitahu kepada semua orang, tapi orang lain tak kan pernah tahu......
Kenangan itu terjilid rapi di sel memory card yang terproteksi perasaannya.
Esoknya entah lelaki itu mampu menikmati hujan......
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI