Puisi cinta hanyalah buih kata di atas hamparan ilalang perbukitan. Kini ditumbuhi rumah dan warung kopi, cafe dan tempat selfie. Syair telah lama mengalir jauh ke muara hati, dan tak pernah merubah apa-apa kecuali tetes air mata. Karena waktu terlalu banyak mengeram kenangan dan sedikit dendam. Harusnya  suara angin mengingatkan serpih-serpih yang menghalangi jalanan, menutup pintu-pintu maaf. Kerika selayang merpati terbang mengepakkan saya cinta, kau tersenyum antara butiran getir. Masihkah hujan senantiasa membangunkan air mata ?
Hujan perlahan merambat di kelopak mata, hatimu yang gigil dihimpit sepi, jiwamu hampir gila dilanda cinta, tetapi takdir adalah senjata penutup bait. Sebiah puisi mengiris urat nadi, menghentikan detak nafasmu. Karena kata sebagai senja yang  membuat banyak titik luka.
Lalu aku terhenti menuliskan kata-kata, walau sepanjang jalan kususuri ribuan kata yang ingin diramu. Apakah kata akan mati juga?? seperti daunan menguning, jatuh, lusuh. Â Jika kata dari nurani, rasa dari jiwa, kalimat adalah perbuatan. Jadilah syair terindah yang mengairi tiap kisah.
Bandung, Casa de Esta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H