Saat mengantar istri ke pasar, biasanya sehari setelah Jumat:
Pagi-pagi sekali, sepeda motor masih belum pulas tidurnya dalam dekap embun
Dan matahari sudah tidak malu-malu menyapa, tetapi embun sangat perkasa bertahan semalam suntuk.
Di pasar tidak kutemui puisi dan sajak tergeletak, juga sepanjang jalan. Sajak mungkin sudah tamat menggenang air mata rindunya yang bias tiba-tiba.
Pasar adalah pasar, di mana uang tak dapat menahan hawa nafsunya.
Gejolaknya berlompatan dan berdesakan antara ketiak- dan wajah-wajah bermasker lima-ribuan dan dari bantuan warga yang peduli kesehatan.
Uang bukan malaikat, tetapi bisa jadi. Dia mencabut nyawa kebutuhan yang kian banyak itu dengan sesak penyesalan, kegelisahan dan rasa takut. Entah di negara hilang rasa takut hingga masih kuat untuk berutang. Bisa jadi trendi masa kini kalau tidak berhubungan dengan bank belumlah moderat, yang akhiran katanya melarat. Hidup adalah perjudian yang laknat.
Kita mengumpulkan beban yang tak terpikul, menyeret langkah yang putus-putus. Hidup harus berjalan, tetapi untuk merangkak sudah berat. Tidak seperti konglomerat, yang serba cepat dan hemat. Mumpuni dan sering diampuni.
Ada saat suara rakyat, untuk mendapatkan tempat. Suara rakyat yang menyayat diperlukan sangat, agen perubahan ke arah yang belum tentu kurang parah. Kita harus berbenah, dari yang belum pernah ingin, yang sudah, kepingin lagi abadi. Tetapi di pasar hanya ada penjual dan pembeli, tidak tahu ditempat lain ada juga jual beli. Hanya keyakinan dan ketuhanan yang membuat sayur kangkung tidak naik lagi, selain kenaikan gaji yang dibesarkan komentarnya mengalahkan rupiahnya.
Di pasar banyak kucing liar, salah satu sempat menyapa dan duduk bersama, tetapi antara kami jauh berbeda. Tetapi aku yakin, dia tahu bahwa aku sembunyikan uang bensin jauh-jauh agar tidak dibawa arus pasar yang riuh..