Rizal deLoesie
Jika kutulis sebuah sajak cinta
Katamu, aku jatuh cinta saat senja menua di belulangku
Ilalang tak lagi savana selain butiran kulit mati di jemari
Bila kutulis senandung syair tentang hidup mengalir
Katamu, jangan mengeluhkan karang dan lautan menghadang
Karena hidup adalah percobaan belajar membaca puisi
Dengan rima dan intonasi  yang tak sehati
Lalu anganku menangkap cahaya rembulan di tengah malam
Merasakan debar menyusuri teluk nadi
Hingga kurangkai kata yang berserak itu menjadi untaian doa pujian
*
Tetapi katamu lagi,
Imanku tak segaris lurus, ibadahku begitu kurus
Sangat tak pantas mementaskan syair ketuhanan itu
Karena aku juga tahu ketuhanan bagiku adalah jiwaku
Dalam perbincangan nurani di balik keikhlasan dan ampunan
Saat itu,
Kusadari ketidaksempurnaanmu menyentuh jiwa,
Tanpa kausadari temalinya menjerat kalimat-kalimatmu
*
Kini kutulis syair sebanyak rimba, sebanyak rindu
Di pokok-pokok kayu besar yang langka, udara lembab dedaunan basah
Di pucuk-pucuk rerumputan dan ranting
Tentang sepasang burung mungil kedinginan dengan doanya
Berbait-bait terjela bagai rotan hiasan di rumah-rumah dermawan
Yang menyimpan duitnya diam-diam
Di aliran sungai keruh dengan airmata penindasan dan kezaliman
Pada batu-batu yang menggoreskan perihnya kehidupan
Dan perihal dirimu yang terlamun kalimat-kalimat semu
Yang menajamkan
Bandung,2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H