Ketika langkahku terhenti, yakin itu hanyalah sejenak buat waktuku membuka simpul-simpul waktu yang terhenti itu. Menatapi semesta dalam diriku yang terkadang terlalu terjalin lupa. Menyadari benih-benih yang tak seharusnya tumbuh dan membiak seperti luka dan duka-duka yang menyangga tiap tangga. Siasati langkah salah yang menyakiti semesta dengan kata, pikiran dan senyumam yang tak lagi ramah. Sentuhan yang sering menyakiti serta pikiran yang membawa arus jiwa untuk menzalimi.
Aku sadar dan dalam bawah sadar yang kupapah untuk selalu selaraskan semesta dalam tuhanku, dalam diriku, mengenali tiap inci diri, mengenali diri untuk berserah kepada Illahi. Tiada kemustahilan dalam perjalanan. Di padang gersang dan tandus sekali pun, masih ada setetes embun yang dijatuhkan jika aku benar-benar tafakur kepada-Mu.Â
Saat itu, ada jeda untuk kembali memandangi jejak langkah dengan tikungan dan terjal yang pernah menggores telapak kaki, ada butiran pasir kenangan yang mengenang, ada kerinduan yang sahdu. Dan menjadikan semua dalam kitab hidup yang tidak bisa lagi dirubah. Semua itu akan kugubah dalam untai syair-syair sebagai tanda dosa.
Saat jeda ini,
Kutorehkan sebait kalimat dalam hati. Mengalirlah dalam cahaya semesta dengan tuhan. Tiadalah suatu takdir itu tertukar, kita adalah ketiadaan bagai bias cahaya yang tidak bisa dipecah dan digenggam kecuali dengan rasa dan iman. Maka kembali dengan "Nur". Yang pada akhirnya tiada satupun dapat kita raba, hanyalah Allah atas karunia Nya. Maka jangan terlalu berlari atau terhenti. Selaraslah dengan semesta dalam rasa yang paling sufi.
Bandung, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H