Setajam apakah sajak,
Belum seberapa dari taring diammu yang mencakar dinding lalu kau sandarkan pada tebing-tebing kepura-puraan. Aku hanya sembunyikan  airmata di balik derasnya hujan di tiap persimpangan jalan.
Sajak hanya diksi setengah terengah menyusuri naluri dan hati yang tercampak. Jalan menapaki jejak-jejak yang disinggahi duri-duri mawar dengan tangkainya mulai membusuk. Â Daunnya hanyalah kiasan basa-basai melengkapi utuh setangkai bunga yang dipersembahkan pada jamuan kenangan.
Lalu, dosa sajak ditimbang.
Baitnya diikat jeruji hingga makna terburai, darahnya berceceran ditikam tiap senja yang mengawinkan kabut jingga dan gulita.
Sajak hanyalah sebilah pisau tumpul yang tak melukai kalimat. Tetapi sajak mampu menikam diam-diam
***
Bandung, 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H