Betapa kadang kita hanya merasa bagai serpih-serpi debu di atas tungku keperihan yang terus saja datang menghadang. Kadang juga ada sebulir embun mengenang di sudut mata betapa lemahnya jiwa -- jiwa yang terus saja terdera.
Itu manusiawi katamu suatu senja, di saat langit dan angin mengarah ke barat, rumput ilalang itu terus jua bergoyang dari angin yang meniupkan sejuta kenang. Di daunnya engkau simpan rapi tiap tepian mimpi.
*
Setelah dera ini katamu, selalu sepatah kata "akan indah pada waktunya". Dan aku tetap percaya pada bening matamu, teguh kejujuran melabuh di sana, jengkal ketulusan sulit kuukur, kulumat dalam rasa bagai jiwa-jiwa yang lama lelah merebah dipangkuan  senja. Oh, senja ini, ingin kulukis indah dalam palung jiwa ku. Aku pecinta senja di atas lengang perbukitan ini. Karena ada dan tiada dirimu tiadalagi menjadi arti.
*
Terbiar jiwaku, terbiasa rasaku dalam ketiadaan, akan kurajut dalam bait-bait senja ini. Bila malam menghujam sunyi itu, aku tidak pernah sendirian. Suatu waktu, kubacakan syair ini dalam hening sunyi pemakaman, di sana pusaraku tertanda batu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H