Lalau kita mencari-cari kata salah, di balik jeruji ketiadaan. Sejak tetes embun yang di lalui para kelana hingga senja bergumam pada sisa mentari yang sebenarnya tiada pernah padam. Pada tumpu senja ini, dendang langit tiada riang dari barisan burung camar yang pulang. Lalu sejenak kita tetap memunguti ketiadaan, dan mengais-gais kealfaan mengunyahnya tiada henti untuk saling menyakiti.
Setangkai sajak itu kerontang, benih kata yang selayaknya membiakan kasih sayang. Ketiadaan yang tiada terlupakan dari memberi tanda baca. Syairnya sumbang dalam kerontang kesunyian yang dia pendam, kini menjadi pendar menyatu dilekuk malam yang semakin tipis.
Terus saja menggali sumur airmata, meluahkan segenapnya menjadi lumpur yang menjadikan kerak batin yang kian membeku, kebencian menuding sampai ke ujung dedauan, ranting kian rapuh bertahan dari terpaan angin kian menusuk labuh jiwanya.
Dedauan setengah bangka lepas melayang, jatuh atau terbuang, setelah betapa beban perjalanan ditimpakan.... syair itu tetaplah syair yang lahir dari pohon batin yang mengakar kuat pada takdir, dia tiada akan terluka terlepas dari tampuk keyakinan, melayang perlahan dan rebah pada takdir Allah...
Bandung, September 18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H