**
Aroma pucuk teh dicumbui tetes embun, awan masih memutih selayak pandang. D ujung sana adinda, megah Kerincimu menyimpan bara cinta negeri kaya. Tiada gersang melintang, bunga ribuan rupa dibuai derai air terjun Timbulun. Sesukamu menatap dalam, lembah hampar hijau memukau. Tebingmu indah mengukir mimpi, dibawahnya, mengalir kesucian mendinginkan segala beban.
**
Elok negeri berhias emas, jembatan besi disana sore menanti. Ketika lelah itu tengadah. Tetap buayaiannuansa alam mengajariku bersyukur apa-aoa yang dimakan. Apa-apa yang kuhirup dalam kancah perdamaian, indah lukisan kebun iru adinda, disinggahku ini menghirup se cangkir kopi. Beratus sajakku tertapak di Lereng Kerinci itu, dalam anggun suara negeri penuh kedamaian itu.
**
Tahukah engkau adinda, suara jiwaku tak pernah mengapung di nyanyian walet mungil sekalipun, karena aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa yang mampu mengurai tiap kata yang kau bisikkan.
Aku hanya ketiadaan dan keterbatasan, luruh jua buih-buihku di tetes embun.
Aku hampiri kasih sayang, dalam susunan kata, namun belum kutemukan nada yang membuatmu berdendang.
**
Teruslah mengawang jauh ke angkasa, akan kutitipkan seutas cinta yang telah kubawa darimu. Untuk kujaga jauh di negeri seberang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H